Musim  haji 1446 H/2025 telah usai, menyisakan catatan penting dalam tata kelola ibadah akbar umat Islam ini. Meski pelaksanaan berjalan relatif tertib, berbagai persoalan muncul kembali: dari gagal berangkatnya ribuan jemaah visa non-kuota (furoda), polemik dana talangan, hingga profesionalitas petugas yang belum merata. Saatnya publik, pemerintah, dan para pemangku kepentingan mendorong reformasi kebijakan haji secara menyeluruh, berbasis pada evaluasi dan analisis kebijakan publik yang mendalam.
Evaluasi Kritis Musim Haji 2025
1. Visa Non-Kuota: Celah Legal yang Perlu Ditutup
Lebih dari seribu jemaah gagal berangkat karena visa tidak terbit, sebagian besar melalui jalur furoda tanpa pengawasan negara. Hal ini menegaskan bahwa sistem pengendalian visa non-kuota masih lemah, dan celah hukum dalam UU No. 8 Tahun 2019 belum menutup praktik komersialisasi ilegal.
Dalam analisis kebijakan publik, hal ini masuk pada fase policy failure dan menunjukkan lemahnya policy legitimacy. Negara perlu segera merevisi UU Haji agar terdapat kejelasan hukum, standar pengawasan, dan perlindungan jemaah non-kuota.
2. Dana Talangan: Distorsi Keadilan Antrian
Model dana talangan haji oleh lembaga keuangan telah memicu ketimpangan keadilan. Banyak jemaah mampu "menyalip" antrean, meski belum memenuhi syarat pembiayaan sendiri. Hal ini bertentangan dengan prinsip fairness dalam kebijakan publik.
Analisis model Lasswell menunjukkan kegagalan menjawab pertanyaan dasar: "Who gets what, when, and how?". Kebijakan ini perlu dihapus dan diganti dengan pendidikan keuangan syariah dan pembinaan tabungan jangka panjang bagi calon jemaah.
3. Profesionalisme Petugas Haji: Masih Banyak PR
Di lapangan, ditemukan sejumlah petugas yang belum memahami tugas-tugasnya secara utuh, terutama saat pelayanan di Armuzna. Ini menunjukkan kelemahan pada tahap policy implementation, di mana antara perencanaan dan realisasi terjadi gap kompetensi.
Evaluasi dari Kemenkes juga mencatat kekurangan SDM medis dan distribusi obat-obatan yang tidak merata.Â