Oleh: Ali Muhsi Kemal
(Penulis, peziarah makna, dan pelayan tamu-tamu Allah di Tanah Haram)
Di sudut kota yang tak pernah tidur, Makkah al-Mukarramah, aku duduk bersama sahabat-sahabat seperjuangan. Kami tak sedang membahas strategi besar, tak juga menyusun proposal megah. Kami hanya duduk. Tapi waktu, hari itu, terasa lebih mahal dari biasanya.
Di restoran sederhana, bernama Nusantara, satu kalimat di dinding mencuri perhatian kami:
"Tidak ada yang lebih berharga dari pada waktu"
Dan hari itu kami mengamininya---bukan dengan kata, tapi dengan hadir.
Kami tidak hanya menyantap makanan khas Indonesia di tengah gurun Arab, tapi menyuapkan rasa syukur atas persaudaraan yang tidak dibangun dari kepentingan sesaat. Di meja ini, kami menyusun ulang makna pengabdian, menyisir ulang cita-cita, dan menegaskan kembali: bahwa kita ini bukan kompetitor, kita ini satu pelayan, dalam satu ladang mulia.
Sebagai lelaki yang diberi amanah hidup di Makkah, mengabdi lewat layanan umrah dan haji, pemilik website: alimuhsikemal.com dan mencintai kata seperti mencintai hidup itu sendiri---aku hanya ingin satu: menjadi orang yang meninggalkan jejak, bukan hanya jejak kaki, tapi juga jejak rasa.
Semoga catatan kecil ini menjadi saksi, bahwa di tengah dunia yang berisik, masih ada ruang untuk mendengarkan. Masih ada waktu untuk duduk bersama, bukan untuk berdebat siapa yang lebih benar, tapi siapa yang lebih hadir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI