Berjalan di kediaman para ilmuwan, tepatnya di dalam sebuah kampus negeri di jember. Lalu lalang manusia terlihat bangga dengan status sebagai mahasiswa, sebagian terlihat awut-awutan, sebagian lain terlihat perlente dengan aksesorisnya.Â
Di senja sore ini, aku lintasi gazebo yang penuh dengan mahasiswa, aku coba menghampiri gerombolan itu. Aku duduk tanpa berbisik, pasang muka acuh aku mendengarkan perbincangan mereka. Bisik-bisik aku mendengar pembicaraan tentang seputar komunitas, baju apa yang dipakai, sepeda yang di modif. Tidak lepas dari perbincangan itu seputar perempuan, salam satu dengan lainnya, perempuan cantik yang taksir, perempuan mana asalnya, bagaimana cara mendekatinya sampe pada siapa yang bisa dibonceng dengan sepedanya besok. Perbincangan ini semakin meruntuhkan asumsi saya bahwa penghuni perguruan tinggi yang bicaranya ilmuwan. Setelah itu saya pindah ke gerombolan berbeda, mungkin di komunitas ini lebih intelek pembicaraannya. Begitulah anggapanku sewaktu mendekat duduk dengan mereka tanpa tanya dan bicara.Â
Perlahan saya mendengar yang dibicarakan mereka tidak jauh berbeda dengan gerombolan awalnya secara substansi. Di gerombolan kedua ini aku mendengar perbincangan seputar tas, baju, makan-makan, pacaran, perjodohan (semacam biro jodohlah) sampe pada obrolan perselingkuhan. Sama dengan gerombolan pertama, disini juga tidak saya temukan perbincangan keilmuan baik yang menyangkut mata kuliahnya apalagi keilmuan yang berbeda.Â
Dari dua pengalaman yang terjadi dikampus islam ini, saya hanya mendengar obrolan-obrolan yang jauh dari keilmuan semacam kaidah ontologis, epistemologis, aksiologis dan metodologis. Mungkin bagi mereka ini adalah istilah-istilah asing, tapi mau tidak mau keilmuan apapun tidak bisa lepas dari istilah2 itu. Realitas ini memberikan gambaran bahwa yang diobrolin mereka tidak jauh berbeda dari sampah yang tidak pernah memberikan kemaslahatan kepada dirinya apalagi orang lain. Pertanyaan yang muncul dalam diri ini, mengapa penghuni perguruan tinggi ini lebih senang ngobrol obrolan sampah, penghuninya senang dikebiri, dan beramai-ramai membantai akal sehat mereka.Â
Aduh gusti...petanda apakah ini? Apakah janji orang-orang berilmu yang dicabut digantikan oleh orang2 yang hanya seperti ini? Bukankah mereka diajari merawat akal sehat dan mengetahui kebenaran? Apakah praktek pengebirian, perbudakan dan tontonan (publik) perselingkuhan adalah kebenaran? Mungkin hanya Allah yang tahu semuanya, ketika semua bungkam dalam kegilaannya.