Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khutbah "Orang Gila"

27 Maret 2017   08:39 Diperbarui: 27 Maret 2017   08:47 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika fajar menyingsing, pagi menyambut dengan bahagia, sinar mentari di ufuk timur menghangatkan seluruh jagat raya ini. Di pagi yang cerah ini, seseorang menyalakan lentera sambil berlarian di pasar sambil berteriak "kucari tuhan, aku mencari tuhan". Orang yang mendengarpun terkejut akan teriakan itu, padahal diluar sana banyak manusia yang tidak percaya pada tuhan. Orang-orang yang mendengar teriakan itu datang menghampiri dan mengerumuninya samvil menertawainya seraua bertanya " apakah dia orang yang hilang?". Celoteh seseorang, atau "adakah dia tersesat seperti anak-anak?, atau dia lagi sembunyi?, atau dia ketakutan kepada kami?, atau dia datang dari pelayaran?, atau lagi bermigrasi?". 

Begitulah berbagai pertanyaan tentang orang yang dianggap gila ini, sambil mereka berteriak dan menertawakannya. Orang gila ini mendengar semuanya teriakan gerombolan manusia yang mengerumuninya, dia melompat kearah mereka sambil menatap tajam wajah mereka, lalu berteriak " kemana tuhan pergi?, aku mau katakan pada kalian bahwa kita telah membunuh dia, ya kau dan aku telah membunuhnya, kita semua adalah pembunuhnya, tapi bagaimana cara kota melakukan semua ini?, bahaimana bisa kita tenggak lautan?, siapa pemberi busa untuk menghapus cakrawala?, apa yang akan terjadi jika kita lepaskan ikatan bumi dan matahari?, kemana bumi ini akan bergerak tanpa matahari?, tidakkah kita di posisi tanpa arah,ke depan, kebelakang, kesamping dan ke semua penjuru?, adakah atas bawah yang tersisa?, tidakkah kita berkeliaran tanpa batas?, tidak, kita rasakan dengus nafas ruang kosong, atau ruang itu sudah mendingin?, bukankah malam bersama gelapnya meliputi kita?, tak seharusnya lemntera dinyalakan di pagi hari, kita belum mendengar kabar dari penggali liang lahat yang sedang mengubur tuhan? Apaka kita belum mencium bau anyir busuknya tubuh tuhan?, dewa-dewapun membusuk, tuhan sudah mati. 

Tuhan tetap mati, dan kita telah membunuhnya. Kita adalah pembunuh segala pembunuhan, bagaimana kita menenangkan diri?, tuhan yang berkuasa di alam jagat raya ini telah tumpah darahnya di bumisampai mati oleh pisau kita, siapa yang akan menghapus darah ini dari kita? Apakah dengan air kita mampu membasuh noda kita? Upacara pertobatan apa yang bisa?, permainan sakral apa yang akan kita ciptakan?, tidakkah perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Haruskah diri kita menjadi dewa-dewa sehingga tampak pantas melakukannya?, tidak ada perbuatan yang lebih besar dari membunuh tuhan, barangsiapa yang dilahirkan setelah pembunuhan ini, maka dia akan menjadi bagian dari sejarah yang lebih tinggi dari seluruh sejarah yang sudah ada".

Berangkat dari pidato Nietzsche diatas, seluruh ilmuwan di berbagai belahan dunia dan sejarah telah menahbiskan seorang Nietzsche sebagai sosok ateis tingkat tinggi. Namun saya melihat, pidato Nietzsche merupakan peringatan bagi kita agar tidak berlaku seperti tuhan di alam jagat raya ini. Hal ini tidak akan pernah disampaikan oleh orang gila, tetapi disampaikan oleh orang waras yang memiliki kesadaran dan kepekaan sosial, agama dan kemanusiaan yang luar biasa. Pada taraf ini, pidato "orang gila" bisa memiliki dua makna. Pertama: memberi pencerahan bagi seluruh manusia untuk mengingat siapa dirinya. Kita adalah manusia yang mengabdi pada tuhan dengan menempatkan posisi tuhan dengan sebenar-benarnya. 

Dengan demikian kita yang hidup di muka bumi harus selalu berlaku baik kepada seluruh jagat raya ini termasuk kepada manusia lain. Kedua; jangan pernah (manusia) menjadi tuhan di atas muka bumi ini dengan menjustifikasi orang lain dan menyalahkan orang lain. Dewasa ini marak perilaku takfiri, menyalahkan dan bahkan menyesatkan orang lain, seakan-akan kita adalah pemilik otoritas kebenaran absolut, padahal pemilik kebenaran absokut hanya dimiliki oleh Tuhan. Hal ini oleh Nietzsche digambarkan dengan god is dead, karena sisi ketuhanan dalam diri manusia telah hilang berubah menjadi binatang yang selalu merusah alam semesta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun