Bayangkan kamu pesan makanan lewat aplikasi, tapi menunya membingungkan, tampilannya ribet, dan pesanan yang datang gak sesuai harapan. Padahal kamu yakin udah klik dengan benar. Pernah ngalamin hal seperti itu?
Nah, hal kayak gitu bisa terjadi karena satu hal: kebutuhan pengguna nggak divalidasi dengan baik di awal pengembangan aplikasi. Ini bukan cuma soal teknis, tapi soal memahami apa yang benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh pengguna.
Dalam dunia rekayasa perangkat lunak (RPL), sering kali pengembang buru-buru mengeksekusi ide tanpa benar-benar ngecek dulu, “Ini beneran dibutuhin pengguna gak, ya?” Padahal, validasi kebutuhan itu kunci utama agar aplikasi yang dibangun bisa tepat sasaran.
Salah satu pendekatan yang menurut saya sangat berguna adalah prototyping. Dengan bikin versi awal dari sistem (walau masih kasar), pengguna bisa langsung nyobain dan kasih masukan. Jadi sebelum proyeknya telanjur jadi, kita udah bisa tahu kalau ada yang salah arah. Ini bisa menghindari banyak revisi di akhir dan bikin proses pengembangan lebih efisien.
Validasi kebutuhan ini ibarat survei sebelum bangun rumah. Jangan sampai pas rumah udah berdiri, ternyata nggak ada kamar mandinya. Lebih baik repot di awal, daripada nyesel di akhir.
Jadi, buat kamu yang berkecimpung di dunia IT atau yang lagi bikin startup digital, jangan lupakan proses validasi kebutuhan. Dengerin pengguna, bikin prototype, dan uji dulu. Karena software yang sukses bukan cuma soal keren tampilannya, tapi juga seberapa pas dia menjawab kebutuhan nyata.
Referensi: Ergasheva, R. I. (2020). Software requirement validation using the prototyping method. Journal of Physics: Conference Series, 1694(1), 012007. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1694/1/012007
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
