Ater-ater Kupat merupakan salah satu tradisi khas yang selalu dilakukan masyarakat Jawa untuk memeriahkan rangkaian perayaan Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ater-ater kupat ini merupakan puncak acara dari pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 Syawal pada hari ketujuh setelah Hari Raya, yang dikenal dengan "Hari Ketupat". Pada momen ini, masyarakat akan membuat dan memasak ketupat lengkap dengan sayur tahu atau pun opor ayam sebagai pelengkapnya. Ketupat dan sayur pelengkap yang sudah selesai dimasak akan ditata di piring atau besek untuk kemudian dibagikan atau diantar (ater-ater) ke tetangga sekitar rumah. Namun, di beberapa daerah lain, ada yang melaksanakan tradisi kupatan ini dengan berkumpul dan kemudian menikmati ketupat secara bersama-sama sambil berbincang di masjid atau mushola. Tradisi kupatan lebih dari sekadar membagikan atau menyantap hidangan, Ater-ater Kupat ini bisa menjadi sebuah kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi dan menjaga keharmonisan antar tetangga dan Masyarakat sekitar. Tradisi Kupatan ini memiliki makna tentang kebersamaan, serta menjadi sebuah sarana untuk memperkuat hubungan sosial antar keluarga dan masyarakat sekitar.   Ketupat yang merupakan makanan tradisional yang terbuat dari beras yang dibungkus dalam daun kelapa dan direbus, sebagai makanan utama dalam tradisi Ater-ater Kupat, memiliki makna simbolisme yang beragam. Makanan ini melambangkan kesucian dan kemurnian, yang cocok dengan semangat perayaan Hari Raya Idul Fitri setelah bulan Ramadan. Selain itu, ketupat juga menjadi simbol rasa syukur atas segala pencapaian yang telah berhasil diraih setelah menjalani ibadah puasa. Masyarakat tak hanya saling berbagi dan menikmati ketupat, tetapi juga menikmati berbagai hidangan pendamping seperti sayur tahu, opor ayam, sambel goreng, dan sayur lodeh, yang menambah kenikmatan dalam tradisi ini. Tradisi kupatan sendiri diperkirakan muncul dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam. Sunan kalijaga adalah yang pertama kali memperkenalkan tradisi ini dan membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran yang bertepatan 1 Syawal dan Bakda Kupat yang berlangsung 1 minggu setelah lebaran. Hal ini menjadikan tradisi Ater-ater Kupat ini menjadi sebuah momen saling berbagi yang penuh kehangatan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
   Momen Ater-ater Kupat ini tidak hanya berfokus pada masakann dan hidangan, namun juga sebagai ajang untuk saling berkunjung antar tetangga. Masyarakat  akan saling mengunjungi rumah satu sama lain dengan membawa ketupat yang lengkap dengan sayur pelengkap sebagai bentuk silaturahmi dan saling menghargai. Kunjungan ini tentunya bertujuan untuk memperkuat ikatan antar individu, baik dalam lingkup keluarga dan saudara, antar tetangga, maupun dengan sesame teman. Dalam beberapa kesempatan, tradisi Ater-ater Kupat juga menjadi waktu untuk saling memaafkan, mengingat bahwa saat Idul Fitri, umat Islam dianjurkan untuk saling bermaafan. Proses ini menjadi bagian penting dalam memperbaiki dan mempererat hubungan sosial yang kadang terabaikan selama tahun sebelumnya. Selain itu, Ater-ater Kupat juga sebagai pengingat pentingnya nilai gotong royong dan saling berbagi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam tradisi ini, tidak hanya keluarga inti yang berkumpul, tetapi juga teman-teman, kerabat jauh, dan tetangga. Suasana kebersamaan yang tercipta memperkuat hubungan sosial dan mempererat silaturahmi yang sudah terjalin.
  Di tengah majunya perkembangan zaman yang serba cepat dan modern sekarang, tradisi Ater-ater Kupat ini akan tetap menjadi tradisi yang penting dan bermakna bagi masyarakat Jawa. Meskipun sekarang ini sudah mulai banyak interaksi sosial dilakukan melalui internet atau media sosial, adanya tradisi Ater-ater Kupat ini menunjukkan betapa pentingnya interaksi sosial antar individu secara langsung untuk memperkuat hubungan yang terjalin antar individu. Tradisi ini juga mengingatkan kita untuk bisa meluangkan waktu berkumpul dan saling berbagi dengan keluarga, tetangga, dan juga teman, meskipun disibukkan dengan urusan pekerjaan sehari-hari. Dengan terus melestarikan tradisi Ater-ater Kupat ini, masyarakat akan dapat terus menjaga ikatan tali silaturahmi dan menciptakan hubungan antar individu yang lebih harmonis, saling mendukung, dan penuh kebersamaan.
Daftar Pustaka
Hulu, Z. M. (2023). TRADISI LEBARAN KETUPAT DI KAMPUNG JAWA KOTA TOMOHON. HOLISTK : Journal of Social and Culture.
Lasantu, M. A. (2019). NILAI PENDIDIKAN DALAM TRADISI LEBARAN KETUPAT MASYARAKAT SUKU JAWA TONDANO DI GORONTALO. MADANI : Jurnal Pengabdian Ilmiah.
(REPOSTED)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI