Dialektika di Tengah Hianat: Membongkar Krisis Moral dan Politik
Pendahuluan
Dalam sejarah bangsa, pengkhianatan selalu menjadi hantu yang membayangi idealisme awal mula gerakan perang jugak dalam sejarah, bahkan keruntuhan suatu kerajaan diawali, disebabkan oleh penghianatan dan penghianatan itu sendiri sangat berbahaya bagi kita siapapun apalagi dalam konteks negara. Ia bukan sekadar tindakan personal, melainkan pengkhianatan terhadap sistem, janji kebangsaan, dan kepercayaan publik. Sejarah politik dunia mencatat, Niccol Machiavelli dalam The Prince (1532/1998) sudah mengingatkan bahwa kekuasaan sering dijalankan bukan berdasarkan moralitas, melainkan kepentingan pragmatis. Sementara itu, Hegel (1807/1977) menekankan bahwa kebenaran hanya dapat lahir melalui dialektika, yakni konfrontasi antara tesis dan antitesis.
Dengan kata lain, ketika pengkhianatan dilembagakan dalam sistem politik, maka dialektika menjadi senjata rasional untuk menguji, mengkritisi, dan mencari jalan keluar. Pertanyaannya: bagaimana dialektika dapat tetap bekerja di tengah normalisasi hianat dalam praktik berbangsa dan bernegara?
1. Mengurai Makna Dialektika dan Hianat
Secara konseptual, dialektika dipahami sebagai proses menemukan kebenaran melalui pertentangan gagasan (Habermas, 1984). Dialektika bukan sekadar debat, melainkan upaya kritis yang berbasis bukti, logika, dan komunikasi rasional.
Sementara itu, hianat dalam politik dapat dimaknai sebagai penyimpangan aktor dari norma atau kesepakatan bersama (O'Donnell & Schmitter, 1986). Pengkhianatan ini bisa berupa manipulasi kebijakan, penyalahgunaan kewenangan, hingga praktik korupsi yang merampas hak publik.
2. Anatomi Pengkhianatan dalam Sistem Politik
Robert Klitgaard (1991) menjelaskan rumus sederhana yang menjadi akar korupsi sekaligus pengkhianatan:
> C = M + D -- A
(Corruption = Monopoly + Discretion Accountability)