Mohon tunggu...
Alfredsius Ngese Doja Huller
Alfredsius Ngese Doja Huller Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis adalah salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dari Seminari San Giovanni xxiii Malang

Berbagi sembari belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahagia di Masa Pandemi (Tinjauan Filosofis)

17 Desember 2021   18:03 Diperbarui: 17 Desember 2021   18:05 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wabah pandemi Covid-19 telah melanda negara-negara di dunia. Banyak korban jiwa yang gugur akibat wabah ini. Tidak hanya lansia dan anak-anak tetapi juga orang dewasa menjadi sasaran empuk virus Covid-19 karena penyebarannya yang begitu cepat.  Bahkan tenaga medis sekalipun  tidak kuasa menghadapinya sehingga banyak tenaga medis  yang gugur.

Setelah diumumkan oleh WHO bahwa dunia global mengalami pandemi Covid-19. Negara-negara mulai menetapkan kebijakan-kebijakan untuk memutuskan rantai penyebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia dalam hal ini menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Masyarakat diwajibkan memakai masker saat keluar rumah. Pemerintah juga menganjurkan masyarakat melakukan aktivitas di rumah masing-masing. Terjadi pro kontra karena kebijakan ini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum siap untuk memulai cara hidup baru seperti yang ditawarkan. Bentuk penolakan dan kemarahan tampak dalam perbuatan yang sering melanggar protokol yang ditetapkan pemerintah.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan); dunia akhirat; hidup penuh bahagia dengan aktivitas batiniah yang mengalami ketenteraman[1]. Kebahagiaan adalah aktivitas yang memunculkan perasaan senang yang tidak dapat diukur dengan standar modern. 

Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang dipimpin oleh segala sesuatu (Nicomachean Ethics. A1, 1094a 13)[2]. Ada banyak kebajikan yang menjadi arah dan tujuan dari setiap tindakan, tetapi ada kebaikan yang lebih baik dan lebih tinggi. Tujuan mulia adalah (eudaimonia)[3]. Dalam pengertian Yunani, kata eudaimonia tidak berarti perasaan subjektif. Berbeda dengan orang modern, mengartikan kebahagiaan atau "happines" berarti keadaan subjektif seseorang.  Kebahagiaan diartikan dengan merasa bahagia. 

Sedangkan dalam bahasa Yunani "kebahagiaan" diartikan sebagai suatu keadaan  objektif yang tidak tergantung pada perasaan subyektif. Mereka mengartikan kebahagiaan sebagai kesempurnaan atau yang lebih spesifik, eudaimonia berarti "memiliki daimon yang baik" dan yang dimaksud dengan daimon adalah jiwa. Kebahagiaan pertama-tama bukan keadaan fisik atau status jiwa, tetapi aktivitas manusia. 

Oleh karena itu ia bukanlah sebuah produk atau ganjaran. Kebahagiaan adalah keadaan manusia yang stabil. Ia terletak dalam aktivitas mengejar kebahagiaan itu. Aristoteles juga menyatakan bahwa pemikiran yang disertai keutamaan belum boleh disebut kebahagiaan[4]. Jika perbuatan itu hanya berlangsung beberapa detik atau sesekali. Manusia dapat dikatakan bahagia, jika dapat menjalankan pemikiran yang disertai keutamaan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sehingga kebahagiaan dapat diartikan sebagai keadaan manusia yang stabil.

 Thomas Aquinas mengemukakan idenya tentang kebahagiaan  yang diadopsi dari logika Aristoteles. Menurutnya kebahagiaan adalah aktivitas mengejar virtus (keutamaan). Keutamaan merupakan perbuatan berkali-kali dan menjadi sebuah kebiasaan (habitus)[5]. Berbeda dengan Levinas yang mengatakan bahwa bahagia berarti hormat pada "liyan", terhadap sesama dan siapa pun[6]. Liyan yang dimaksud adalah "diri sendiri"  dalam inkorporasi diri sesama.

 Dalam perspektif Stoisisme yang dikemukakan oleh Seneca. Seorang terkenal di kekaisaran Romawi kuno, ia mendefinisikan kebahagiaan adalah penggunaan akal budi seseorang yang bijak atau berbudi luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga menegaskan bahwa akal budi yang disempurnakan selalu bersesuaian dengan  alam. 

Mengikuti alam berarti mengikuti ilahi, dan mengikuti akal ilahi berarti mengikuti "Allah" dalam pemahaman Stoa. Pendek kata pandangan Stoisisme percaya bahwa kebaikan yang ada di luar diri manusia, kekayaan dan kesehatan tidak memiliki kebaikan intrinsik tetapi hanya baik secara instrumental ketika dipergunakan untuk kebajikan.

  • Mengejar Keutamaan

Melakukan aktivitas mengejar keutamaan hidup[1]. Menurut Aristoteles kebahagiaan terletak pada aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan bukanlah produk yang dihasilkan. Pertama-tama bukan keadaan fisik atau status jiwa. Ketika seseorang dapat melakukan sesuatu dan mendapatkan apa yang diinginkan lalu mengklaim dirinya bahagia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun