Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[perspektifpolitik] Kopi Instan dan Demokrasi Cepat Saji: Sebuah Kajian Politis melalui Metafora Kopi Sachet

4 Oktober 2025   10:04 Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:04 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GrokAI.dokpri)

Kopi Instan dan Demokrasi Cepat Saji: Sebuah Kajian Politis melalui Metafora Kopi Sachet

"Tinggal gunting, tuang, aduk, langsung jadi pemimpin." Kalimat itu mungkin terdengar absurd, tapi dalam realitas politik kontemporer, ia menggambarkan gejala yang kian mengkhawatirkan: demokrasi instan, sebuah sistem yang meniru logika kopi sachet, di mana proses panjang, kompleks, dan penuh makna dari berdemokrasi dipangkas demi hasil yang cepat, bahkan rela menerabas aturan demi cari praktisnya, demi memenuhi ambisi, dan menarik secara permukaan. Dalam metafora ini, kopi sachet bukan sekadar minuman, melainkan simbol dari politik pragmatis yang mengorbankan substansi demi kecepatan dan kemenangan jangka pendek.

Kopi Sachet sebagai Metafora Politik Instan

Kopi sachet menjanjikan kemudahan: tidak perlu biji, tidak perlu giling, tidak perlu waktu, cukup sobek, tuang air panas, dan kopi siap diminum. Tidak peduli apakah bijinya dari mana, apakah prosesnya organik, atau apakah rasanya autentik. Yang penting: hasilnya cepat dan cukup enak untuk dikonsumsi.

Demikian pula dalam politik hari ini. Proses demokrasi yang seharusnya melibatkan pendidikan politik, dialog publik, akuntabilitas, dan pembentukan karakter pemimpin dipermudah menjadi serangkaian taktik instan: Pencitraan massal menggantikan rekam jejak nyata, Politik identitas instan menggantikan gagasan ideologis, Uang dan logistik menggantikan kerja kerakyatan, Kampanye viral menggantikan diskusi substantif.

Hasilnya? Pemimpin "siap saji" yang tampak karismatik di layar, tapi kosong di dalam seperti kopi sachet yang manis di lidah, tapi tak meninggalkan jejak rasa yang mendalam. Viral di dunia maya, tapi sesungguhnya menjadi beban karena tidak bisa bekerja sebagai politisi beretika apalagi negarawan yang melayani. Politik kerakyatan menjadi politik dinasti, karena mereka yang berkuasa akan menggunting (seperti kopi sachet) aturan demi meloloskan anggota keluarga. 

Bahan Tambahan dalam Demokrasi: Perisa Sintetis Bernama Hoaks dan Emosi

Kopi sachet sering mengandung perisa sintetis, pemanis buatan, dan pengental agar terasa "kaya" meski isinya minim kopi asli. Demikian pula dalam politik instan: emosi, hoaks, dan narasi provokatif menjadi bahan tambahan yang sengaja dimasukkan ke dalam "resep kampanye" untuk menciptakan ilusi kedekatan dan urgensi.

Masyarakat tidak lagi diajak berpikir kritis, tapi dipancing bereaksi. Isu SARA, konspirasi, atau musuh bersama diciptakan bukan untuk memperjelas visi, tapi untuk mempercepat loyalitas emosional. Ini adalah demokrasi yang dibumbui bukan oleh gagasan, tapi oleh ketakutan dan kemarahan, bahan kimia sosial yang membuat rakyat "ketagihan" pada drama politik, bukan pada solusi nyata.

Akibatnya, partisipasi politik menjadi dangkal: bukan berdasarkan pemahaman, tapi berdasarkan reaksi impulsif seperti orang yang memilih kopi hanya karena kemasannya warna-warni, bukan karena kualitasnya.

Praktis, Tapi Rentan Kecurangan

Salah satu daya tarik kopi sachet adalah standarisasi: rasanya selalu sama, prosesnya selalu mudah. Namun, dalam politik, standarisasi justru membuka celah besar bagi manipulasi sistemik.

Ketika demokrasi direduksi menjadi "pemilu = kemenangan suara", maka segala upaya difokuskan pada memaksimalkan angka, bukan memperdalam kualitas proses. Maka muncullah: Money politics sebagai "pemanis" agar suara mengalir, Politik balas jasa sebagai "pengental" loyalitas semu, Intervensi birokrasi sebagai "air panas" yang mempercepat hasil sesuai keinginan elite.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun