KEKUASAAN KATA [7]: Mind Mapping & Simbol, Peta Rahasia di Balik Setiap Tulisan yang Utuh
Saya sering kehilangan ide. Bukan karena tidak punya. Justru terlalu banyak. Muncul tiba-tiba: saat sedang mandi, saat menunggu angkot, saat antre di lampu merah, saat mengajar, saat mengedit, bahkan saat hampir tertidur. Ide-ide itu datang seperti kilat menyambar, menyilaukan, lalu... poof! hilang sebelum sempat saya tangkap.
Sampai suatu hari, saya sadar: ide bukan musuh yang kabur. Ia adalah tamu yang butuh tempat duduk. Dan saya sebagai tuan rumah harus menyediakan kursi, meja, dan secangkir teh agar ia mau tinggal lebih lama.
Di situlah saya mulai menggunakan mind mapping dan simbol-simbol pribadi dalam catatan harian saya. Bukan untuk pamer. Bukan untuk jadi rapi ala Pinterest. Tapi untuk satu tujuan sederhana: agar ide dasar tulisan saya yang paling mentah, paling liar, paling jujur tidak hilang ditelan waktu, lalu bisa dirangkai dengan utuh, tanpa kehilangan jiwa aslinya.
Mind Mapping: Peta Berpikir yang Hanya Saya yang Paham
Saya tidak pernah membuat mind map yang "sempurna". Tidak ada garis lurus, tidak ada warna-warna pastel yang matching, tidak ada font-font cantik. Yang ada di kertas saya: coretan, panah yang bengkok, lingkaran yang tumpang tindih, dan simbol-simbol aneh yang hanya saya yang tahu artinya.
Mind map saya bukan peta untuk orang lain. Ia adalah peta jiwa. Peta yang hanya saya yang bisa baca, karena ia lahir dari cara berpikir saya, dari emosi saya, dari ritme napas saya saat menulis.
Dan justru karena ia personal, ia jadi sangat powerful.
Saat saya ingin menulis esai panjang tentang "kehilangan", saya buka mind map lama. Di sana, ada coretan kecil bertanda : "Ibu menangis diam-diam di dapur. Tak tanya apa-apa. Cuma bilang, 'Nanti Ibu masak sop favoritmu.'"
Dari satu coretan kecil itu saya bisa kembangkan jadi 2000 kata. Karena di balik kalimat itu, ada luka. Ada cinta. Ada diam yang lebih keras dari teriakan. Dan semuanya sudah saya simpan dalam peta pribadi saya.
Simbol Pribadi: Bahasa Rahasia antara Saya dan Ide Saya
Saya percaya, setiap penulis punya bahasa rahasia. Bahasa yang tak perlu diajarkan, tak perlu dijelaskan  karena ia lahir dari kebiasaan, dari kebutuhan, dari kejujuran.