Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

[menulis] Ketika Kata-Kata Menjadi Obat untuk Jiwa yang Terluka

6 September 2025   08:10 Diperbarui: 6 September 2025   08:10 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Ketika Kata-Kata Menjadi Obat untuk Jiwa yang Terluka

"Siapa pun yang percaya bahwa Anda tidak bisa mengubah sejarah belum pernah menulis kisahnya sendiri." (David Ben-Gurion)

Ada sesuatu yang magis terjadi ketika pena menyentuh kertas atau jari menyentuh keyboard dengan niat yang tulus. Bukan hanya kata-kata yang lahir, tapi juga luka-luka yang tersembunyi mulai menemukan jalan keluar. Seperti aliran sungai yang mencari jalannya sendiri menuju laut, begitu pula emosi yang terpendam mencari cara untuk mengalir, dan menulis adalah saluran yang paling jernih untuk itu.

Kata-kata Ben-Gurion pada awal kutipan di atas terasa sangat hidup tiga puluh dua tahun yang lalu ketika saya seorang anak muda yang datang dari desa untuk pertama kalinya mengikuti ,meditasi penyembuhan batin, bahkan ketika kita masih dalam kandungan. Dengan metode PRH (Personality and Human Relations) yang dilakukan melalui pendekatan spiritual (meditasi) saya dibantu untuk menelusuri jejak luka masa lalu. Dari meditasi itu (yang dibarengi dengan kontemplasi) saya menemukan diri sebagai seorang anak yang ternyata amat sering dilukai (bahkan sejak di dalam kandungan ibu).

Penemuan luka-luka masa lalu yang kemudian diarahkan untuk disembuhkan dengan menuliskan segala yang temukan dalam meditasi/kontemplasi itu. Kata per kata yang spontan muncul dituliskan semua di atas kertas. Kemudian kata-kata yang sering berulang diberi lingkaran atau tanda khusus untuk kemudian ditelusuri satu per satu asal usulnya. Kapan kata itu didengar atau diucapkan seseorang kepada saya. Singkatnya, di akhir hari ketujuh, saya dibantu untuk menuliskan surat secara panjang dan lengkap lalu dikirimkan kepada mereka yang pernah menyakiti saya di masa lalu.

Proses yang saya jalani lebih dari sekadar mengubah sejarah hidup saya, menulis juga bisa mengubah luka menjadi hikmah, kepedihan menjadi kebijaksanaan, dan kebingungan menjadi kejelasan. Inilah keajaiban proses kreatif menulis: ia bukan hanya menciptakan karya, tapi juga menyembuhkan jiwa.

Saya bebas dari dendam. Saya sembuh dari luka. Kini setiap kali mendengar kata-kata tertentu tidak membuat saya sensitif dan tersinggung, atau mengingat wajah-wajah mereka di masa lalu yang "kejam" membuatku tersenyum penuh maaf.

Menulis: Terapi yang Tersedia untuk Semua Orang

Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menulis demi penyembuhan: ada yang menulis doa, puisi, cerpen, atau umpatan-umpatan luapan isi hati dalam diary pribadi. Semua itu adalah bentuk terapi yang tak ternilai, cara kita berusaha keluar dari luka batin tanpa harus mengeluarkan uang jutaan untuk membayar dokter atau psikiater.

Berbeda dengan terapi tradisional yang membutuhkan pertemuan dengan profesional, menulis sebagai terapi tersedia kapan saja, di mana saja, dan untuk siapa saja. Ia tidak menghakimi, tidak memotong pembicaraan, dan tidak pernah lelah mendengarkan. Seperti kata penulis legendaris Maya Angelou, "Ada sesuatu yang sangat membebaskan tentang menulis. Tidak ada yang bisa menghentikan Anda selain diri Anda sendiri."

Kata-kata Maya di atas sungguh telah saya lewati tiga dekade lalu dan terus saya hidupi hingga saat ini. awal mula melalui puisi-puisi yang bernada memberontak, penuh kritik sosial. Itu hanyalah gambaran tentang diri yang pernah ditolak. Lalu sekarang ketika makin masih menulis kritik sosial, saya berusaha sedemikian agar kata-kata saya Nampak lembut tapi menusuk. Bagaimana pun masa lalu tak pernah bisa dibersihkan total dari dalam memori, tetapi ketika mulai diungkapkan untuk orang lain diksi atau pilihan kata menjadi lebih manusiawi agar tidak melukai orang lain seperti yang pernah dialami di masa lalu.

Kata orang, "Menulis adalah ruang aman di mana Anda bisa menjadi diri sendiri yang paling rentan, tanpa takut dihakimi, tanpa takut disalahpahami, tanpa takut dihentikan di tengah jalan" merupakan sebuah kesimpulan yang actual bagi siapapun yang pernah terluka, bahkan ketika dia sendiri tidak berdaya (kala masih dalam kandungan ibu).

Proses Kreatif: Jembatan dari Luka ke Pemahaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun