Ketika Senyum Tak Dibalas: Mencari Damai di Tengah Bayang-Bayang Mertua yang Ketus
Pernahkah kamu merasa seperti tamu yang tak pernah benar-benar diterima? Duduk di ruang tamu yang hangat, minum teh yang disediakan, tapi merasa udara di sekitar begitu dingin? Pernahkah kamu tersenyum, lalu disambut dengan tatapan datar, atau (lebih menyakitkan) sindiran halus yang menyayat perlahan?
Itulah wajah dari seorang mertua yang ketus. Bukan monster. Bukan penjahat. Tapi seseorang yang, entah karena takut, cemas, atau kehilangan kendali, memilih untuk membangun tembok daripada jembatan.Â
Dan di balik ketus itu, ada ribuan orang yang terluka diam-diam.
Luka yang Tak Terlihat: Dampak Psikologis dari Sikap Ketus
Ketika seseorang menghadapi mertua yang selalu menghakimi, membandingkan, atau mengabaikan, luka itu bukan hanya emosional, ia meresap ke dalam jiwa. Lama-lama, ia membentuk pola: Aku tidak cukup baik. Aku pasti ada yang salah.
Ini bukan sekadar rasa tidak nyaman. Ini adalah erosi harga diri yang perlahan tapi pasti. Setiap kali mertua berkata, "Dulu mantan anakku lebih rajin," atau "Kamu kerja di mana? Gaji segitu cukup buat hidup?", ada bagian dari diri yang runtuh. Dan yang paling menyedihkan? Kita sering menyimpannya sendiri. Takut dianggap lebay. Takut dianggap tidak sabar. Takut dianggap tidak menghormati orang tua.
Dalam jangka panjang, ini bisa memicu kecemasan kronis. Ada yang sampai mengalami gejala fisik: jantung berdebar saat akan berkunjung, perut mual, bahkan insomnia. Dalam dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai Pentheraphobia: fobia terhadap ibu mertua. Bukan lelucon. Ini nyata. Dan dialami banyak orang.
Belum lagi depresi relasional: perasaan terjebak antara cinta kepada pasangan dan luka yang tak kunjung sembuh. Ingin pergi, tapi hati masih terikat. Ingin bertahan, tapi jiwa terasa lelah.
Retaknya Jalinan Keluarga: Dampak Sosiologis yang Mengancam Harmoni
Tapi dampaknya tidak berhenti di individu. Ketusnya seorang mertua bisa menjadi bom waktu dalam struktur keluarga. Dan bom waktu itu antara lain: Pertama, ia memecah pasangan. Suami yang memilih membela ibunya, istri yang merasa sendiri. Istri yang mengeluh, suami yang merasa dituduh tidak menghormati orang tua. Dan di tengah-tengah, cinta yang dulu hangat mulai retak.
Kedua, ia menciptakan pembatasan sosial. Calon menantu tidak diajak ke acara keluarga. Tidak diperkenalkan ke sanak saudara. Bahkan, kadang, tidak diizinkan makan bersama. Ini bukan sekadar sikap dingin, ini adalah bentuk pengucilan sosial. Dan dalam budaya kita yang sangat menghargai kebersamaan, pengucilan itu terasa seperti penghinaan.