Leukemia: Kanker Darah yang Mengancam, Penyebab, Dampak, dan Cara Mendampingi Pasien dengan Penuh Empati
[Saya menulis ini dengan perjuangan, apakah saya tega mengabarkan berita tentang sahabat karib saya ini? Kalau tidak menuliskan kisah ini, saya juga merasa berat dan tertekan. Biarlah tulisan ini menjadi media edukasi betapa pentingnya seorang sahabat, teman akrab hadir ketika temannya sedang jatuh atauh down. Kehadiran yang empatik adalah dua kali obat bagi teman kita]
Temani Aku ke Rumah Sakit
"Fren, bisa temani saya menerima hasil lab di RS?"
"Oke siap. Untukmu, saya selalu siap saat saya bisa." Begitu balasku pada pesan singkat melalui WA.
Ya, kami bersahabat sudah 31 tahun, sejak masih kuliah hingga sama-sama memiliki anak remaja. Kami juga pernah dikirim ke Madagascar menjalankan misi yang sama, 27 tahun lalu. Dan ini pertama kalinya dia meminta tolong sejak kami menikah dan memiliki kesibukan masing-masing.
Beberapa hari sebelumnya, aku sempat menjenguknya di rumah. Dia bercerita tentang sakitnya yang dramatis. Tuhan mahabaik. Ia dilindungi-Nya mulai dari Bandung hingga Yogyakarta, meskipun kondisi darah dalam tubuhnya tinggal sepertiga dari normal. Mukjizat itu benar-benar nyata baginya. Tiba di RS, ia harus transfusi darah sebanyak enam kantong.
Sudah satu setengah jam kami menunggu, belum ada tanda-tanda dokter datang. Memang dokter ahli onkologi ini melayani di beberapa RS. Saat pelayanan mulai berjalan, giliran nomor 13 pun dipanggil - padahal awalnya terdaftar sebagai nomor 5.
Teman saya mulai gelisah. Saya coba menguatkan dengan bercerita kembali pengalaman lucu masa lalu, ketika kami hampir putus asa di Madagascar karena sakit dan komunikasi sulit. Kami tertawa, walau hanya sesaat.
Setelah konfirmasi beberapa hasil laboratorium, akhirnya tiba waktunya mendengarkan diagnosis yang ditunggu-tunggu. Saya menggenggam tangannya, menepuk pundaknya pelan agar ia merasa tidak sendirian.
"Maaf," kata dokter, "ini terdengar pahit ya, tapi harus saya sampaikan apa adanya kepada pasien."
"Iya dokter, saya siap mendengarkan," potongnya. Tangannya masih saya genggam erat.
"Dari hasil pantauan gejala-gejala yang ada, 80% mengarah ke leukemia," ujar dokter sambil mengangkat tangan tanda permohonan maaf.