Belas Kasih di Tengah Bisingnya Dunia Maya
Di dunia digital hari ini, kita tak lagi sekadar membaca berita - kita ikut jadi komentator, hakim, sekaligus juri. Dalam satu hari, kita bisa berpindah dari melihat video lucu ke berita bencana, dari status pernikahan teman ke debat panas soal politik atau agama. Dan seringkali, di tengah lalu lintas komentar yang padat, belas kasih tertinggal jauh di belakang.
Yang ironis, kita hidup di negeri yang menjunjung tinggi agama. Doa dan ibadah dilakukan saban hari. Nama-nama Tuhan disebut dalam beragam bahasa dan tradisi. Tapi mengapa ajaran belas kasih - yang menjadi inti hampir semua agama besar - begitu sulit hadir dalam dunia maya?
Dalam Islam, Allah disebut Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Nama-Nya sendiri sudah menunjukkan kasih dan cinta tanpa batas. Nabi Muhammad dikenal karena kelembutan hatinya, bahkan terhadap mereka yang mencelanya. Tapi hari ini, banyak yang mengatasnamakan Islam justru dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan. Lupa bahwa rahmat itu seharusnya melingkupi semua, termasuk mereka yang berbeda pendapat.
Kristen pun demikian. Kasih menjadi kata kunci. Yesus mengajarkan, "Kasihilah musuhmu, berdoalah bagi mereka yang menganiayamu." Ajaran yang mungkin terdengar berat di telinga kita yang terbiasa membalas komentar pedas dengan sindiran yang lebih tajam. Tapi bayangkan, jika satu orang saja memilih untuk merespons dengan tenang dan penuh kasih, satu lingkaran konflik bisa dihentikan.
Dalam Hindu, konsep karuna berarti belas kasih aktif. Ia bukan sekadar rasa iba, tapi hasrat untuk melindungi dan menolong. Di tengah media sosial yang sering jadi arena saling serang, karuna mengajak kita untuk lebih peka: tidak langsung menghakimi, tidak menyebarkan hoaks, dan tak menambah minyak ke dalam api perpecahan.
Sementara Buddha mengajarkan metta - cinta kasih universal. Tapi ia juga mengajarkan pentingnya jeda. Sebelum bicara, sebelum mengetik, sebelum menekan "kirim," kita diminta untuk berhenti sejenak, menyadari niat. Satu detik keheningan bisa jadi batas antara kata-kata yang menyembuhkan dan kata-kata yang menghancurkan.
Tentu saja kita tak mungkin menjadi sempurna. Tapi bukankah agama hadir bukan untuk menciptakan manusia yang tak pernah salah, melainkan manusia yang belajar dari kesalahan, yang mau memperbaiki diri?
Media sosial adalah cermin besar. Ia memantulkan siapa kita, bukan hanya di depan kamera, tetapi di balik layar. Di situlah kita diuji: apakah ajaran yang kita aminkan benar-benar hidup dalam laku, atau hanya sekadar kata-kata.
Belas kasih bukan kelembutan yang lemah. Ia adalah kekuatan yang menahan diri ketika mudah untuk menyerang, memilih memahami ketika mudah untuk menghakimi. Di dunia yang makin riuh dan polar, barangkali yang kita butuhkan bukan lebih banyak argumen, tapi lebih banyak kelembutan.