Romo Mangun: Kematian yang Tak Pernah Mati
Siang itu, Hotel Le Meridien Jakarta ramai oleh suara diskusi yang hangat. Para intelektual, sastrawan, dan aktivis berkumpul dalam simposium yang digagas Yayasan Obor Indonesia. Di antara mereka, seorang pastor berambut putih duduk dengan tenang, sesekali tersenyum, atau menyela pembicaraan dengan canda yang cerdas. Y.B. Mangunwijaya -Romo Mangun bagi yang akrab- sedang berbicara tentang buku, tentang bagaimana kata-kata bisa membentuk peradaban.
Tak ada yang mengira itu akan menjadi pidato terakhirnya.
Acara usai pukul 13.30. Para peserta bergegas ke ruang makan, tapi Romo Mangun masih asyik bercakap dengan beberapa orang. Mohamad Sobary, sahabatnya, mendengarkan dengan saksama. Tiba-tiba, tubuh itu lunglai. Sobary menahan, lalu dengan hati-hati membaringkannya di atas karpet. Tangan Sobary memijat pelan, berharap ada tanda kehidupan. Tapi Romo Mangun sudah pergi, begitu cepat, begitu sederhana, seperti seorang petani pulang setelah seharian bekerja di sawah.
Itu 26 tahun lalu, tepatnya 10 Februari 1999. Tapi bacalah karya-karyanya: Burung-Burung Manyar, Roro Mendut, esai-esainya yang pedas tentang ketidakadilan, maka Anda akan merasa dia masih ada. Rohnya tidak terbungkus waktu. Ia hidup dalam setiap baris tulisan yang menyentuh kemanusiaan tanpa tedeng aling-aling, melintas batas agama, suku, dan generasi.
Genius yang Merakyat
Romo Mangun bukan sekadar pastor, arsitek, atau sastrawan. Ia adalah gelombang yang menerjang tembok-tembok kekakuan. Lihatlah bagaimana ia mendesain rumah-rumah untuk warga Kali Code, Yogyakarta, bukan sebagai proyek amal, tapi sebagai pengakuan bahwa kaum miskin pun berhak atas keindahan. Dengarkan ceramah-ceramahnya: ia bisa mengutip Alkitab, filsafat Jawa, dan teori Marx dalam satu tarikan napas, lalu menyajikannya dengan bahasa warung kopi.
Suatu kali, seorang mahasiswa bertanya padanya: "Romo, bagaimana caranya jadi orang besar?" Ia tertawa. "Jangan mau jadi orang besar. Jadilah manusia. Itu lebih sulit."
Kegeniusannya justru terletak pada kemampuannya merendah. Ia menulis tentang pelacur, pengemis, dan kaum tersingkir bukan dari menara gading, tapi dari dalam lumpur kehidupan mereka. Ketika banyak intelektual sibuk berdebat di seminar, Romo Mangun memilih tinggal di gubuk-gubuk kampung, mendengar keluh kesah orang kecil.
Warisan yang Tak Lekang
Hari ini, ketika Indonesia dilanda polarisasi, ketika agama dan identitas dijadikan senjata, suara Romo Mangun justru semakin relevan. Ia mengajarkan bahwa keberpihakan pada kemanusiaan tidak mengenal musuh. Dalam Burung-Burung Manyar, ia menggambarkan kisah cinta Teto dan Laras -sepasang kekasih yang terpisah oleh revolusi- untuk menunjukkan bahwa di balik setiap konflik, ada manusia dengan luka yang sama.
Pernah suatu kali, seorang aktivis Islam keras memprotesnya karena dianggap terlalu "liberal". Romo Mangun tidak marah. Ia mengajak orang itu ngobrol sambil minum teh. "Kita boleh beda jalan, asal tidak beda tujuan," katanya. Beberapa tahun kemudian, aktivis itu datang ke misa kematiannya, dengan mata berkaca-kaca.