'Sebagaimana engkau lihat, gagasan saya adalah bahwa kesadaran sesungguhnya bukanlah milik eksistensi individual manusianya, tetapi milik kodrat sosial atau kawanannya; maka, sebagai konsekuensinya, kesadaran telah berkembang secara halus hanya sejauh kesadaran tersebut disyaratkan oleh kegunaan sosial atau kawanan.
Konsekuensinya, dengan keadaan bahwa kehendak terbaik di dunia adalah untuk mengerti diri kita seindividual mungkin, 'untuk mengetahui diri kita sendiri,' maka setiap kita akan selalu berhasil menjadi sadar hanya mengenai apa yang tidak individual atau 'rata-rata'Frederick Nietsche
Belajar tentang moralitas tuan
Aforisme[1] memang merupakan kekhasan Nietzsche dalam merumuskan pemikiran filsafatinya. Ia cukup mengajarkan banyak diagnosa tersendiri di dalam perkembangan moralitas manusia hingga bahkan dijuluki 'pembunuh Tuhan.'Â
Hal demikian tentu saja sontak membuat siapapun yang beragama terkejut dan merasa perlu untuk mengkritisi Nietzsche, bahkan ada pendapat membaca Nietzsche bisa jadi merupakan ciri orang berwajah ateis.Â
Walau demikian tentu saja itu merupakan salah satu atau dapat dikatakan sedikit catatan untuk membaca Nietzche beserta pemikirannya, untuk itulah aku ingin meluruskan bahwa membaca pemikiran Nietzsche dapat membuat kita berpijak tentang realitas manusiawi di mana perlu dibela demi memberi kemandirian pada diri sendiri.Â
Membaca moralitas tuan dari Nietzsche misalnya, dapat dikatakan moralitas ini mengajarkan pada setiap orang harus memiliki semangat afrimatif terhadap hidup. Semangat ini mencerminkan semangat untuk selalu maju dan optimis terhadap hidup.Â
Berbeda dengan moralitas kawanan yang menuntut individu untuk hidup berdasarkan moralitas yang satu dan seragam dengan moralitas individu lainnya, dalam moralitas tuan individu yang mencerminkan semangat ini harus hidup berdasarkan moralitasnya sendiri.Â
Sebab sebagaimana pernah tercermin di dalam sejarah bahwa kadangkala moralitas yang seragam memberi individu itu ketidaksepahaman terhadap dirinya sendiri dan sesamanya. Mengapa demikian?Â
Karena pengenalan diri secara mendalam berarti memberikan penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada diri sendiri. Berdasarkan konteks itulah Nietzsche menunjukkan bahwa insting untuk mengenal diri sendiri secara mendalam merupakan ideal asketis seorang filsuf.
Nietzsche memperlihatkan bahwa perspektif sang filsuf masa depan bersifat sangat pribadi dan justru menunjukkan siapa dirinya. Dalam konteks itulah filsafat bukan sekadar teori abstrak tentang realitas, tetapi pertama-tama menunjukkan kepribadian sang filsufnya. Dengan kata lain, filsafat hadir demi sang filsufnya. Tentu saja penghormatan terhadap realitas sebagaimana adanya juga sudah selalu berkaitan dengan suatu insting untuk mengenal diri sendiri secara mendalam.Â