Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekerasan Massa dan Ironi Persepsi Kolektif

30 Juni 2020   20:54 Diperbarui: 30 Juni 2020   21:04 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Degradasi itu mungkin hanya jika orang lain tidak sepenuhnya independen dari pikiran kita tentangnya. Menurut Simmel sang 'kamu' dalam proses pengenalan itu juga merupakan hasil konstruksi sang 'aku'. Demikianlah kita memang tidak pernah menjumpai orang lain sebagaimana adanya. Untuk mengenalinya kita membuat rekaan tentangnya. 

Dengan kata lain kamu pada perspektif ini merupakan fragmen dari rekaan 'ku'. Salah satu contoh sebut saja ketika khalayak sebagian mengucapkan kamu adalah orang yang simpatik, rekaan macam ini kiranya terlihat biasa dan sangat akrab. Tapi secara serta merta rekaan ini merupakan proses memberi bentuk pada objek yang dikenali dengan cara mempresentasikannya di dalamm kesadaran. 

Objek itu, suatu 'kamu' katakanlah dicaplok oleh kesadaranku dengan mendefinisikannya. Dapat dikatakan bahwa proses pengenalan orang lain tadi sudah mengandung momen dominasi. Sehingga dalam kondisi normal aku dan kamu saling mendefinisikan. Dimanakah degradasi muncul? Ketika sang 'kamu' pasif dan tak mampu menegaskan diri. Hingga dari kondisi ini pula manusia menjadi korban penentu manusia lain, menjadi objek bagi suatu subjek.

Pada kondisi normal proses pengenalan berkembang dari sesuatu yang umum menuju yang semakin spesifik. Ego mengenali alter pertama-tama sebagai anggota suatu kelompok. 'Oh, dia orang Kristen' , 'Oh, dia aktivis partai atau 'Ia kemarin bersama-sama dengan para pelamar itu'. pada fase kolektif ini ego melihat alter sebagi anasir seragam sebuah kelompok. 

Semua turis barat misalnya, kita melihat yang sama berkulit putih, bertubuh jangkung, berambut pirang dan hidung mancung, mereka dikatakan ke dalam tipe bule. Contoh yang marak terjadi di neri ini, berambut keriting, kulit hitam, miskin dan terpinggirkan, dikelompokkanlah sebagai orang timur. 

Cataan dapat diberikan semakin berbeda kelompokmu dari kelompokku, makin samalah kelihatannya individu-individu kelompokmu, tetapi makin bedalah aku dan kamu. Kiranya Simmel boleh menyatakan bahwa proses pengenalan tidak berkembang tepat saat tertambat oleh kolektivisasi semacam ini.

Pada kondisi massa, manusia-manusia tidak mengenal satu sama lain sebagai individu-individu, melainkan sebagai elemen massa. Pengenalan kolektif ini bukan hanya tertambat, melainkan juga mengalami degradasi. 

Bentuk degradasi pengenalan kolektif adalah stigma. Sang 'kamu' yang distigmatisasi, yaitu korban kekerasan, tidak dipandang sebagi manusia yang sama, melainkan sebagi anasir sebuah ras, kelas, partai atau agama secara keliru. 

Di tengah anomali massa terkait stigma ini jalan pengenalan menjadi sederhana. Lewat stigma kelompok dibenturkan kepada kelompok, sehingga manusa-manusa tidak lagi melihat orang-orang lain sebagi sesama manusia, melainkan sebagi musuh. 

Adanya perbedaan kecil macam itu bisa dibesar-besarkan demi mendiskreditkan kelompok musuh itu, seperti tampak dalam kaum Protestan dan Katolik di Irlandia, antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan dan seterusnya. Para pelaku kekerasan tidak begitu merasa membunuh sesama mereka, mereka justru melihat kekerasan adalah upaya untuk mengaja keutuh kolektif itu.

Jika kita mengatakan bahwa kekerasan melekat di dalam stuktur pikiran manusia, yang kita acu di sini adalah dua hal berikut. Pertama, pengenalan atas manusia lain mengandung momen dominasi, karena mengenali berarti juga mendefinisikan. Kekerasan semakin nyata jika yang didefinisikan itu tak mampu mendefinisikan diri dan tunduk pada instansi di luar dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun