Konsep dan istilah budaya kekerasan merupakan konsekuensi makin luas, dalam, dan kompleksnya jenis, jumlah, dan mutu kekerasan yang dianggap bersifat hirarkis, mendasar dan "menular'. Berbagai alat, metode, dan alasan pembenaran dicari untuk melegitimasikan tindak kekerasan.Â
Bahkan lembaga-lembaga politik telah mensahkan dan melembagakan kekrasan sebagai alat pemeliharaan tertib sosial (order). Inilah yang menghasilkan apa yang disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat, tentara, pemerintah, dan atau birokrasi.Â
Peradaban modern memang secara de jure dan de facto memberi wewenang kepada negara sebagai satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi melakukan kekerasan. Padahal kekerasan adalah tetap kekerasan yang memiliki unsur pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi soal siapa pelakunya.
Lalu bagaimana dengan kekerasan massa? Hal ini cukup mengherankan tentunya, sebab timbul bukan karena kesadaran individual, tetapi kebanyakan datang dari individu yang terseret oleh karena komitmen akan suatu paham, sehingga mau tak mau membinasakan salah satu kelompok, hingga daripada itu pula memunculkan konflik horizontal dan mendatangkan ketidaknyamanan serta kekhawatiran tersendiri bagi tiap-tiap warga yang ingin hidup damai di republik ini.Â
Itu sebabnya bahwa sesungguhnya individu sebagaimana terlibat dalam kekerasan massa merupakan salah seorang yang dipindahkan dari ruang kontak sosial sehari-hari ke dalam suatu peleburan kolektif yang menghisap banyak ciri personal dari seorang insan itu sendiri.Â
Oleh karena itu bolehlah disebut ruang kolektif karena pada ruang ini kebersamaan pada  paham, ideologi, asas, bergerak secara bersama hingga menciptakan tindakan-tindakan kolektif.Â
Maka pentinglah untuk meneliti ruang kolektif yang dimasuki individu-individu ini dengan menanyakan bagaimana ruang kolektif tersebut dapat  membentuk kekerasan inheren di dalamnya? Mungkin suatu eksplorasi atas proses pembentukan-pembentukan ruang itu pulalah yang kiranya akan mengantar kita untuk mengenal akar-akar kekerasan itu sendiri, terlebih khusus kekerasan massa.
Mengenal kekerasan massa
Apakah pelaku kekerasan memandang korbannya sebagai sesamanya manusia? Mari sejenak kita berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis yang ada dalam proses pengenalan manusia. Kerumunan penduduk memukuli pencuri dengan pekik kemarahan tanpa mengetahui duduk perkaranya, stigma terhadap sesama hingga mengakibatkan tindakan berbeda diantara satu sama lain, dan juga unsur pengelompokkan diantara kulit putih dan kulit hitam, meyakini bahwa sesama manusia adalah terdapatnya paradigma kesamaan antara aku dan dia. Demikianlah kiranya persis yang dikatakan Empedokles dua setengah milenium silam, yang sama hanya mengenal yang sama.Â
Kalau demikian tentu kekerasan pula tak akan dilakukan kepada yang sama melainkan pada mereka yang lain dan dianggap berbeda. Pengelompokkan terhadap yang berbeda dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga dihadapan realitas, perbedaan merupakan bentuk terasing.Â
Dia asing bukan sekadar sebagai penduduk, warganegara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih daripada itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain dehumanisasi terjadi sampai pada status objek-objek.