Levinas sering menggunakan simbol-simbol yang sangat dramatis yakni seperti anak yatim, orang papa yang memanggil atau mengundang belas kasihku. Dengan demikian urgensi moral bukanlah tuntutan yang menakutkan, melainkan panggilan halus mengetuk hati agar berempati terhadap sesama.Â
Jadi menurutnya bahwa panggilan moral tidak pernah memaksaku dengan ancaman pukulan tangan yang mengepal melainkan dengan belaian tangan terbuka sembari mengikuti panggilan 'yang lain' untuk menolongnya di dalam kebebasan.Â
Oleh karena itu pulalah paham Levinas sangat sulit sekali melihat moral sebagai tuntutan seperti dikembangkan dalam hak assasi dan keadilan yang kuat.Â
Walau demikian, moral posmodernisme sebagaimana dipaparkan oleh Levinas tidak menyamakan moral sekadar sebagai perasaan subjektif sebagaimana dikembangkan oleh emotivisme (perasaan) belaka, sebab sesunguhnya postmodernisme mengajak moral keluar dari dirinya sendiri.
Daftar PustakaÂ
[1]Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa Latin mos yang berarti adat kebiasaan, di mana menurut Thomas Aquinas, keutamaan moral juga mengandung nuansa kodrati yakni mengikuti kecenderungan kodrat.
[2]Sofis (sophistes) arti aslinya pengajar kebijaksanaan, yang berkeliling dan ahli dalam berbicara, dan punya pengaruh besar dalam masyarakat Yunani kisaran 400 SM. Â
[3]Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogjakarta: Kanisius 1975 hlm. 69.
[4]Relativisme pada umumnya dikaitkan dengan kebudayaan, yang berpandangan bahwa moralitas yang mengatur masyarakat merupakan ungkapan-ungkapan nilai-nilai local yang berbeda diantara satu daerah dengan yang lain.
[5]Katekismus Gereja Katolik pasal 1790 Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum dirinya sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan
[6]K. Bertens, Etika. Hlm 38