Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Andrinof A. Chaniago | Dari Penjaja Kue ke “Profesor” Survei

30 Oktober 2014   08:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:12 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414609606840129454

Oleh: Alfi Rahmadi

Ketekunannya dalam mendefenisi kerangka kalimat dan angka, telah mengubah segalanya. Satu riset yang ia tekuni telah mengubah tradisi konglomerasi yang dikendalikan kepentingan pemodal dan birokrat penadah. Sebuah missi yang belum tuntas.

[caption id="attachment_350735" align="aligncenter" width="800" caption="Andrinof Chaniago dalam launching buku karyanya "][/caption]

Kawasan yang di keliling Gunung Merapi, Singgalang dan Tandikat itu selalu menjadi bahan sastra Indonesia. Itulah Padang Panjang, kota kecil di Sumatera Barat, menjadi inspirasi sastrawan kondang yang lahir di tanah itu.

Tanah ini telah lama anti Kolonial; lagi tempat pemikir pembaharuan keagamaan. Tak kurang karya Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Buya Hamka); Bertanya Kerbau pada Pedati (A.A Navis), atau Marah Roesli dalam Siti Nurbaya: merekam semua itu.

Andrinof A. Chaniago terngiang tanah kelahirannya itu saat dia memberi komentar untuk thriller sejarah Rahasia Meede (Hikmah, 2007) yang ditulis oleh ES Ito. Di sampul cover dalam novel yang menurut Dr. Harry Poeze (Direktur KITLV Press, Leiden) sebagai aliran sastra baru itu, Andrinof menulis:

“Ini karya langka yang memadukan imajinasi cerdas dengan falsafah hidup, ilmu pengetahuan, heroisme, kecerdasan, idealisme dan realitas politik yang tersembunyi. Dengan riset yang tekun, nyaris menjadikan karya E.S. ITO ini sempurna. Ia bisa membangunkan generasi sekarang yang terlanjur mengabaikan sejarah (28 Januari 2008)”.

Saban di tengah sorotan lampu kamera dalam dialog di televisi, Andrinof mengulang lagi frase “realitas politik yang tersembunyi” itu. Gaya bicaranya tidak meledak-ledak. Tapi cukup menohok otak bawah sadar kita dalam menyingkap realitas apa yang terselip.

Satu kata kunci yang sering Andrinof lontar: realitas itu masalah postur pembangunan Indonesia yang tak seimbang. Novel Rahasia Meede dengan lead “Misteri Harta Karun VOC” itu, sekan-akan merekam pembangunan kita lari ke segelintir kelompok kepentingan pemodal dan penadah kekayaan. Dan itu persis lari ke satu daerah, sementara mesin keuntungan disimpan di negeri orang.

Kalau soal menyingkap realitas Rahasia Meede (novel), Andrinof memang mengerahkan peneliti Center for Indonesia Regional and Organ Studies (CIRUS)—lembaga riset yang dia pimpin— membantu ES Ito memecah kode ke mana harta karun Indonesia yang terpendam dan dipendam.

Namun kalau soal realitas sosial, Andrinof bersama Dr.Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif INDEF, meluncurkan Visi Indonesia 2033. Dibantu oleh tim asistensi, Visi Indonesia 2033 menawarkan pendekatan lintas wilayah, lintas kelompok sosial, dan lintas waktu: menuju masa depan indahnya Indonesia.

Satu diantara rekomendasi penting dalam Visi ini, Andrinof kampanye memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Ini bukan isu baru. Dulu Soekarno membuka wacana memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Di masa Soeharto, merapat sedikit ke wilayah Jonggol di Bogor.

Ya, ke Kalimantan. Ini bukan pikiran nakal, tapi justeru menurut Andrinof sebagai pilihan masuk akal. Dari sisi geografis, Kalimantan tidak terlalu ke Barat dan Timur. Dari metode pembangunan, menurut pakar ekonomi-politik Universitas Indonesia (UI) ini, metode akumulasi modal tak akan menjawab masalah. Pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan akumulasi modal tidak akan pernah berlangsung lama karena metode itu mengeluarkan biaya sosial dan ekologis.

Bahkan menurutnya, beberapa program yang menelan triliunan dari APBN, seperti transmigrasi dan percepatan pembangunan daerah tertinggal, bisa sia-sia. “Sebab dalam jangka panjang tujuan program itu akan lenyap justru akibat persoalan akut ketimpangan antar-wilayah,” paparnya.

Andrinof bersama tim asistensi coba menghitung-hitung. Perkiaraan biaya memindahkan ibu kota mencapai Rp 50 triliun untuk masa 4 tahun. Pihak yang menilai angka itu terlalu tinggi, mereka itu kata Andrinof, orang yang menyederhanakan masalah.

Nilai Rp 50 triliun tidak ada artinya dibanding potensi biaya yang hilang akibat kemacetan di Jakarta. Tiap tahun mencapai Rp 43 triliun! Angka ini menguap akibat akumulasi kemacetan. Mulai dari asumsi pemborosan bahan bakar, produktivitas SDM yang terjebak akibat macet, dan masalah spare part kendaraan.

Tak berhenti sampai di situ. Pemindahan ibu kota bukan berarti mentolerir model pembangunan di Pulau Jawa berlanjut seperti sekarang. Intinya: paradigma pembangunan kota di Indonesia harus diubah.

“Model konglomerasi yang dikendalikan oleh kepentingan pemodal dan birokrat penadah uang harus dihentikan dan digantikan dengan model pembangunan yang mengutamakan keserasian antarfungsi ruang, antar kelompok sosial dan antara daya dukung lingkungan, serta beban penduduk,” paparnya lagi.

Setali tiga uang, dalam realitas politik, Andrinof juga melihat polarisasi dukungan masyarakat dan tampilnya tokoh yang masih berhubungan dengan karakter sosial tertentu. Singkat kata, sampai hari ini masih ada kecendrungan Sipil-Militer (pengusaha), Jawa-non Jawa, dan Nasionalis-Relegius (Islam). Polarisasi warisan sejarah ini malah menjadi code tersendiri yang menentukan kemenangan pucuk pimpinan nasional dalam hajat pemilu pasca 1998.

Ini satu soal. Hal lain, jika mutu terdekat kepemimpinan diukur dengan hasil pemilu, maka politik pencitraan kandidat yang etik nampaknya juga bergantung di pundak Andrinof. Di luar gelanggang penyelenggaraan pemilu, anggota Tim Penilai Makalah Peserta Seleksi Calon Pimpinan KPK ini punya PR besar merumuskan kode etik semua lembaga survei di Indonesia.

Awal Februari 2009, ia dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Embrio assosiasi profesi lembaga survei ini lahir di tengah gaduh hasil survei yang menghangat selama musim pra kampanye Pilpres 2009.

Tanggal 1-2 Desember 2008, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani bekerja sama dengan Friedrich Naumann Stiftung (lembaga funding asal Jerman) menggelar pertemuan dengan sejumlah lembaga polling/survei se-Indonesia. Acara yang diikuti 80 peserta lembaga polling dan di gelar di Hotel Santika, Jakarta, itu membentuk kelompok kerja (Pokja) Forum Peneliti Opini Publik. Dari Pokja inilah konferensi nasional pertama digelar untuk melahirkan PERSEPI.



Pimpinan sidang konferensi ini diketuai oleh Marbawi dari Litbang Media Group; didampingi oleh Burhanuddin Muhtadi dari LSI dan Adinda T. Muchtar dari The Indonesian Institute. Awalnya, yang dijagokan adalah Saiful Mujani. Tapi yang bersangkutan tidak bersedia. Demi menjaga integritas ilmiah PERSEPI, maka Marbawi selaku ketua sidang konferensi melobi Andrinof dari kalangan akademisi (UI) juga dari CIRUS, agar bersedia menjadi Ketua Umum pertama assosiasi ini.

“Iya, saya dipilih secara aklamasi dalam konferensi pertama itu, dan Cak Ipul (panggilan akrab Saiful Mujani) ditetapkan sebagai Ketua Dewan Etik pertama dalam sejarah lahirnya PERSEPI ,” papar Andrinof saat berbincang dengan FORUM, dua pekan setelah ia terpilih sebagai Ketua Umum asosiasi nasional yang memayungi semua lembaga survei ini.

Bila ditimbang, suami Ir. Yultifani ini tak ingin hanyut berkubang di dunia survei. Ia ingin waktunya juga bisa tercurah untuk pengembangan ilmu dari hasil riset kualitatif. Riset itu digarap oleh CIRUS Surveyors Group (CSG) yang Andrinof dirikan pada 1999. Bidang riset yang CIRUS bedah adalah masalah otonomi daerah, kebijakan publik, dan pelayanan publik perkotaan.

Inilah yang jadi dasar mengapa Andrinof menolak tawaran Denny JA menjadi Direktur Riset di masa awal LSI berdiri. Sebelum Pemilu 1999 datang, Andrinof diajak oleh peneliti publik opini dari LP3S,Andy Agung Prihatna, membuat modul pengetahuan dasar empiris untuk peneliti lembaga survei.

Posisi itu lalu dialihkan ke M. Qodari (kini mendirikan Indo Barometer). Saiful Mujani, menurut Andrinof, saat itu masih menempuh studi di Ohio University (AS), tetapi telah berhubungan dengan Denny JA dalam merumuskan LSI.

Di masa awal LSI berdiri, kata Andrinof, Saiful Mujani yang memang sangat ahli dalam survei, merangkul Lembaga Pengembangan Penelitian Ilmu Sosial (LPPIS) UI. “Selain saya, di LPPIS ini ada Eep Saefulloh Fatah dan Valina Singka,” ceritanya.

Maka, kalau untuk lembaga survei, Andrinof memastikan akar geneologis itu datang dari LP3S dan LPPIS UI.

***

Andrinof A. Chaniago lahir di Padang, 3 November 1962. Di masa SD, anak kedua dari empat saudara ini punya pengalaman yang sulit dilupa. Saat itu Andrinof bersama dua rekannya terpilih jadi siswa terbaik, tapi tidak diterima di rayon SMP berkelas.

“Di masa itu meritokrasi (prestasi) diukur dengan kelas. Yang masuk di rayon itu anak-anak orang kaya meskipun kurang cerdas,” sindirnya.

Andrinof lalu masuk Madrasah Tsnawiyah di Padang Pariaman. Menjelang naik kelas dua ia sudah ancar-ancar pergi ke Jakarta. Yang dituju adalah rumah bibinya. Niat itu terkabul. Tepat di kelas dua, Andrinof masuk di SMP di bilangan Grogol, Jakarta Barat.

Anggota Badan Penasehat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia ini blak-blakan mengaku, yang membiayainya sekolah adalah keluarga sang bibi. Sejak usia 11 tahun, Andrinof telah menjadi anak yatim. Ibunya banting tulang menjadi penjual kue. “Saya menjaja kue buatan ibu ke tetangga-tetangga,” kenangnya, mengulum senyum.

Yang mengesankan: begitu tiba Jakarta, bakat menulis Andrinof sejak kecil tersalurkan. Di masa SMP, ia terbiasa menulis puisi yang di muat di harian Komas dan Sinar Harapan.  Hasilnya: SMP Grogol yang diwakili Andrinof tampil sebagai juara menulis.

Babak persentuhan Andrinof di dunia riset berawal saat dia duduk di semester pertama jurusan Ilmu Politik UI. Saat itu ia tinggal di asrama Rawamangun, Jakarta Timur. Bea siswa tak berpihak untuk Andrinof. Makanya untuk menutup biaya kuliah, peluang menjadi peneliti polling di Litbang Harian Kompas ia ambil.

Pengalaman ini rupanya memantik gairah riset Andrinof. Ia bergabung di labotarium penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Di lembaga ini, Andrinof menjadi koordinator untuk survei.

Diantara survei yang ia pimpin di masa itu adalah survei “Yang Muda Yang Konservatif”; bekerjsama dengan Majalah Tempo (1993). Populasi dan sampelnya saat itu anggota DPR. Rupanya hasil survei itu bergulir selama sepekan.

“Yang saya ingat, hasil survei itu dianggap Tempo layak sebagai cover story. Hasil riset itu menunjukkan, justru anggota DPR yang muda yang takut dengan perubahan saat itu,” kenang Panelis Uji Publik Seleksi Calon Anggota Bawaslu 2008-2012 ini.

Pertengahan masa kuliah, Andrinof mulai ngiler pada isu-isu ekonomi-politik. Tugas akhir yang dia geber adalah studi kasus PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Tak berapa lama setelah wisuda, skripsinya yang berjudul “Masalah Pengalihan Teknologi untuk Pengembangan Industri Strategis” itu malah menghantarkan Andrinof terbang ke Singapura

Insitute of South East Asian Studies (ISEAS) yang berkantor di negeri singa itu memberi jatah buat Andrinof sebagai Research Fellow. Yang patut dibanggakan: bila peneliti yang diundang ISEAS semuanya mahasiswa master dan doktor, justru hanya Andrinof sendiri yang baru strata satu..

Di masa awal tamat kuliah, masalah industri properti rupanya yang menjadi magnet Andronif lekat dengan isu-isu perkotaan. “Ada yang aneh dari bisnis properti,” gumam ayah Auzi Amazia Domasti ini yang saat itu bergeliat di LPPIS UI.

Di LPPIS UI, itu hanya berlangsung kurang lebih tiga tahun. Setelah itu dia benar-benar tergoda bekerja di Ummat. Hingga 1996, Andrinof menjadi Koordinator Riset dan Dokumentasi di majalah itu.

Selepas dari Ummat, mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UI ini berkutat di Harian Ekonomi Neraca; menjadi Kepala Kompartemen Riset dan Bank Data. Namun menjadi komandan riset di media malah membuatnya gundah.

Ia mengaku miskin waktu dalam menelusur data-data agar dapat dijahit menjadi sebuah kerangka. Maka disinilah awal pertapaan Andrinof dalam riset kualitatif secara serius. Ia pamit dari Neraca hanya untuk menulis buku “Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru” (LP3ES: 2001). Karya itu semakin mengibarkan nama Andrinof. Hingga sejumlah kementerian dan beberapa kepala daerah kerap meminta masukan kiat sukses pembangunan dari pemikirannya.

Dalam hal riset, Andrinof sendiri mengaku masyarakat kita masih belum akrab. Mana itu polling dan mana survei, bagaimana metodenya: semua itu masih belum familiar. Maka dalam PERSEPI yang dia pimpin, survei itu sendiri perlu dikampanye lebih keras lagi. Sehingga, kata Andrinof, publik tidak menyalahkan dulu lembaga survei sebelum menelusur rimba survei itu sendiri.

Satu hal yang pernah menyulut Saiful Mujani jadi berang saat publik ribut soal hasil survei sepanjang 2009. Metode yang dipakai sama; sampelnya sama; analisisnya sama; klaimnya juga sama. Tak kurang waktu penelitian dan data base-nya juga sama. Tapi mengapa hasilnya berbeda? Hingga Saiful Mujani sampai pada satu kesimpulan. Bicara soal hasil berpulang pada kredibilitas lembaga survei itu sendiri.

Dalam amatan Andrinof, setiap tahapan berpotensi munculnya hasil survei yang tak akurat. Mulai dari tahap penyusunan rencana survei, hingga quisioner yang kabur dan tidak tegas turut mempengaruhi pembuatan tabulasi yang multi-interpretasi.

Bila ada nara sumber yang tidak siap di wawancara, respondennya harus diganti dengan teknik pengacakan lagi. Selanjutnya, di tahap pengolahan data, interpretasi bisa terjadi bias bila tak hati-hati dalam mentabulasi total jawaban yang dijawab dan yang tidak oleh responden. Dunia survei bukanlah bangunan penafsiran, tapi justeru patuh pada kiadah kalimat dan angka.

Saat terjun ke lapangan, terkadang kegiatan suveri melewati aral-rintang yang mendenyut jantung. Di pelosok-pelosok kampung, para peneliti menyeberangi sungai dan menembus hutan. Terkadang begitu rumah yang dituju berhasil ditemui, malah tuan rumahnya tak siap. Bahkan tak memberi jawaban apa-apa,” cetus Andrinof soal suka-duka yang ia alami. ***

ALFI RAHMADI | FORUM Keadilan/No. 41/09-15 Februari 2009

BIO DATA

Nama                                       : Andrinof A. Chaniago

Tempat & tanggal lahir       : Padang, 3 November 1962

Agama                                     : Islam

Isteri                                         : Ir.Yultifani

Anak                                        : Auzi Amazia Domasti

Pekerjaan


  • Dosen S1/S2 FISIP UI (Ekonomi-Politik, Politik Perkotaan, Isu-isu Politik Kebijakan Publik, dan Kebijakan Publik).
  • Research Fellow The Habibie Center.
  • Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group.

Pekerjaan Paruh Waktu


  • Anggota Tim Juri Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia LIPI-Depdiknas 2008.
  • Anggota Tim Seleksi Calon Anggota KPUD Depok 2009-2014.
  • Panelis Uji Publik Seleksi Calon Anggota Bawaslu 2008-2012.
  • Anggota Tim Penilai Makalah Peserta Seleksi Calon Piminan KPK.
  • Anggota Tim Seleksi Calon Anggota Panwas Pilkada DKI Jakarta 2007.
  • Anggota Tim Seleksi Calon Anggota Panwas Pilkada Kota Bekasi 2007.

Pendidikan


  • S-1 Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia (Februari 1990).
  • S-2 Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (Maret 2004).
  • Diploma, The National Development Courses dari Fu Hsing Kang College, Taipei, Taiwan (2004)

Short Courses


  • Economic Globalization, di Wuhan, China (2007)
  • Taiwan Economic Development and Planning, organized by Taiwan ICDF, Taipei, Taiwan (24 April 2006)
  • Sustainable Urban Development di Touyuan City, Taiwan (25 September 2004)
  • Conflict Mediation, di Oslo dan Troms O, Norwegia (31 Mei– 26 Juni 2003).

Organisasi


  • Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI)
  • Anggota Badan Penasehat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
  • Anggota Dewan Redaksi Jurnal Galang, jurnal pemikiran filantrofi.
  • Ketua III Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (2005-2008)
  • Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UI (1987-1988)
  • Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI (1986-1987)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun