Mohon tunggu...
Alfi Pangest
Alfi Pangest Mohon Tunggu... Pendidik -

Pembelajar, pekerja sosial, penikmat buku, penggiat pendidikan, pecinta seni dan budaya, desain, serta sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Memanusiakan Teknologi, Men(T)eknologikan Manusia

6 Mei 2011   09:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pernahkah Anda memainkan game Pro Evolution Soccer? Atau mungkin sekedar melihat kawan asyik memainkannya, atau hanya sekedar mendengar namanya. Ya, ini adalah salah satu permainan yang paling banyak digemari oleh pecinta sepakbola dan pengguna komputer tentunya. Versi terbarunya adalah PES (begitu ia sering disebut) 2011, bila sempat mampir dan unduh permainannya di situs ini www.konami-pes2011.com. Game buatan Konami ini memainkan sepakbola dengan diri kita sebagai si pengendali penuh atas permainan, dengan memainkan 11 aktor-aktor lapangan layaknya kita sedang beraksi di lapangan yang benar-benar hijau. Pro Evolution Soccer kini telah ber-evolusi menjadi permainan yang lebih manusiawi dari versi sebelumnya. Kini, Anda bisa menjumpai adanya diving, keputusan anulir gol oleh wasit, dan dan berbagai penyempurnaan yang menjadikannya lebih nyata secara permainan. Ada lagi game sepakbola, namanya Football Manager, di sini Anda menjadi manajer tim bola - bukan pemainnya. Game ini merupakan game managerial yang dibikin oleh Sports Interactive dan SEGA, dan versi terbarunya adalah FM 2011. Menarik lagi, di permainan ini Anda bisa menjumpai adanya sisi manusiawi yang berusaha dimunculkan. Akan dijumpai putusan wasit seperti offside tidaknya seorang pemain, gol tidaknya sebuah kejadian, pantas tidaknya seorang pemain dikartumerah, hingga adanya relasi yang dibangun antara sang manajer dengan pemain, board atau direksi klub, suporter, hingga wartawan. Ini yang menarik, usaha penambahan unsur-unsur manusiawi ke dalam kecerdasan buatan yang tertuang dalam kode-kode pemrograman bikinan manusia. Manusia lewat komputer, berusaha menumbuhkan perasaan dalam game Football Manager ini. [caption id="attachment_106453" align="alignnone" width="512" caption="Football Manager 2011"][/caption] Kembali ke dunia nyata, di sisi lain kita kebanyakan adalah pemirsa yang menyaksikan bakat-bakat pesepakbola memainkan si kulit bundar, di stadion, menyaksikan di layar kaca, atau streaming via internet. Di luar sana, ada sekumpulan orang yang sedang bekerja keras menyempurnakan aturan dan kelengkapan dalam kehidupan sepakbola. FIFA sebagai badan resmi dan tertinggi di pesepakbolaan berupaya keras untuk membuat sepakbola menjadi hiburan sekaligus tontonan yang nyaman di hati pecinta sepakbola di seluruh penjuru dunia. Masih ingatkah tragedi tendangan Frank Lampard ke gawang Manuel Neuer di perdelapan final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan lalu? Keputusan pengadil lapangan untuk tidak mengesahkan gol tersebut disalahkan banyak pihak, but match must go on, Inggris tersingkir dari Piala Dunia. Atau kita tengok sejenak beberapa hari yang lalu tatkala (lagi-lagi) Lampard melesatkan tendangan jarak jauhnya, kali ini ke gawang Tottenham Hotspurs di ajang Barclays Premiere League, bola lepas dari tangkapan Heruelho Gomes dan bola bergulir masuk ke gawang. Tayangan ulang maupun rilis foto-foto wartawan menunjukkan bola melewati garis tetapi belum sepenuhnya. Aturan FIFA (bisa dilihat di Laws of The Game pada Laws 10, The Method of Scoring, halaman 31) yang mana kurang lebih berbunyi 'Sebuah gol dihitung saat keseluruhan bola melewati garis gawang, di antara tiang gawang dan berada di bawah mistar gawang, dan tiada pelanggaran dalam peraturan permainan sebelumnya yang dicetak oleh tim yang mencetak gol tersebut'. Gol tersebut seharusnya tidak dihitung, tetapi keputusan wasit adalah mutlak dalam pertandingan. Inilah yang kemudian memicu kembali argumen untuk penerapan teknologi dalam sepakbola, khususnya dalam sah-tidaknya sebuah gol. [caption id="attachment_106455" align="alignnone" width="500" caption="Goal"][/caption] Ada dua kubu berseberangan dalam penerapan teknologi lebih jauh dalam pertandingan sepakbola. Kubu pertama mendesak adanya teknologi tambahan, menyadari bahwa kemungkinan Human Error ada dalam diri setiap pengadil (wasit dan hakim garis) dan sebaik-baik wasit pun pernah melakukan kesalahan. Hal ini sah-sah saja, mengingat ada beberapa kasus di mana keputusan wasit salah dan merugikan salah satu tim. Ingatlah kasus gol Luis Garcia kala Liverpool bersua Chelsea di Laga Champions beberapa musim silam, gol Carlos Tevez ke gawang Meksiko di Piala Dunia 2010 lalu, atau gol ketiga Geoff Hurst di Piala Dunia paling diingat kala menjungkalkan Jerman 4-2 di final Piala Dunia 1966, di samping duo-gol Lampard yang kontras (di Piala Dunia dan di partai melawan Spurs) di atas. Kelompok ini menuntut adanya kejelasan akan aturan karena ketidakpercayaan akan putusan-putusan pengadil di lapangan. Memasukkan unsur teknologi tidak menjamin sebuah pertandingan menjadi lebih menarik, hanya memberikan kepastian, dan nantinya sepakbola menjadi olahraga yang tidak menoleransi kesalahan dan menjadikannya lebih mirip game PES, dengan pemain-pemain yang benar-benar manusia plus teknologi yang tidak manusiawi. Golongan ini ditentang keras oleh Michel Platini dan Sepp Blatter, bagi kedua tokoh paling sentral di organisasi sepakbola tertinggi di Eropa dan Dunia ini, sepakbola harus tetap menjunjung manusiawi-nya termasuk kesalahan. Keberadaan teknologi akan mengikis keterlibatan manusia dan perlahan akan menambah porsi teknologi dalam sebuah pertandingan. Kubu kedua adalah yang menolak keterlibatan teknologi lebih jauh, kelompok ini didukung oleh Platini. UEFA enggan menggunakan pangaplikasian Eagle Eye dalam pertandingan dan lebih memilih menambahkan ofisial kelima (meski jumlahnya dua) di samping tiap gawang untuk membantu wasit memutuskan setiap perkara sekitar kotak penalti. Pada akhirnya keputusan UEFA menerapkannya di Europe League dan Champions League memberi sedikit rasa aman akan kemungkinan adanya kontroversi terciptanya gol di garis gawang atau pelanggaran di kotak penalti, tetapi hal ini masih saja dianggap kurang memberikan jaminan keputusan wasit benar pada akhirnya. Contohnya pada kualifikasi Champions League antara Tottenham Hotspurs versus BSC Young Boys, di mana gol Jermaine Defoe disahkan padahal ada handsball oleh Defoe sebelum gol tercipta, dan ofisial kelima tidak melihatnya sebuah pelanggaran. FIFA kabarnya melunak menjelang pagelaran akbar mereka di Brasil 2014 mendatang. Mereka kini tengah menggodok beberapa proposal penggunaan teknologi yang membantu pengadil memberikan keputusan, akhir 2011 siap diujicobakan dan dicoba diterapkan pada 2012. Meskipun beberapa alternatif teknologi telah diajukan beberapa pihak, nyatanya FIFA belum berani mengambilnya sebagai teknologi yang resmi dan bisa diimplementasikan dalam sepakbola. Penggunaan tayangan ulang atau replay adalah salah satu usulan yang menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, ini memberikan gambaran lebih jelas dengan berbagai sudut kamera tentang suatu kejadian. Dengan replay, wasit bisa memutuskan sah-tidaknya gol, pelanggaran tidakkah, diving atau tidak, dan peristiwa lain yang kurang jelas atau luput dari pengamatan wasit. Olahraga semacam tenis, hoki (hockey), dan American Football menggunakan ini. Ada opsi memasukkannya dalam pertandingan dalam wujud monitor besar di salah satu sisi stadion, agar seluruh stadion mengetahui dengan lebih baik sebuah tayangan ulang. Opsi lainnya menempatkan monitor bagi ofisial keempat (asisten wasit) untuk memberikan masukan kepada wasit tentang sebuah kejadian (video replay). Bagaimanapun, opsi pertama lebih banyak memberikan tekanan bagi wasit. Suporter di stadion yang terdiri dari berbagai kelompok akan memberikan extra-pressure bagi pengadil, terlebih atmosfer stadion bisa membuat para pendukung melupakan objektifitas mereka. Opsi kedua menjadi lebih realistis, sudut pandang lain juga memungkinkan wasit mengubah keputusannya dan menghindari mengulur waktu dengan diskusi antar ofisial pertandingan. Alternatif kedua adalah penggunaan mata-elang, Hawk Eye, yang implementasinya sudah dilakukan di olahraga tenis. Dalam olahraga yang juga membutuhkan keakuratan analisis pengadil akan lewat-tidaknya bola di garis lapangan, adopsi ini dilakukan juga via replay. Penggunaannya di Liga Primer Inggris pernah diusulkan, tetapi akhirnya ditolak beberapa tahun silam. Terakhir adalah penanaman chip dalam bola, yang dikenal dengan Teknologi Chip Cairos. Ini pernah digunakan dalam FIFA Club World Cup 2007 di mana AC Milan saat itu menjadi juara setelah menaklukkan Boca Juniors di final. Menanamkan sebuah chip pada sebuah bola, dan memberikan penangkap sinyal di sekitar gawang untuk mendeteksi bola 100 % melewati garis, sederhananya seperti itu. Ini meminimalisasi kesalahan analisis wasit, tetapi kesahalan bisa terjadi bila berhadapan dengan faktor teknis: cuaca, waktu, dan instalasi. Karena kesalahan seinchi dalam instalasi di lapangan, bola bisa dinyatakan tidak gol, karena sinyal memutuskan gol ketika seluruh bola melewati, bila terjadi kesalahan instalasi lebih maju dari garis dalam skala 1-5 inchi saja maka tujuan dari teknologi ini menjadi sia-sia. Pada akhirnya, sebagus apa pun teknologi diciptakan, tujuannya adalah untuk memudahkan manusia sebagai pelaku aktivitas agar lebih tepat mengambil keputusan. [caption id="attachment_106457" align="alignnone" width="460" caption="Graham Poll"][/caption] Ada dua pendapat yang saya kutip, dari blog diagonalrun.wordpress.com dan pendapat dari eks-wasit asal Inggris yang terkenal, Graham Poll. Argumen yang saya kutip dari diagonalrun.wordpress.com, penggunaan teknologi tidak seharusnya dilakukan karena wasit akan kehilangan perannya, we'll lose the role of the referee. Saya setuju, wasit adalah pemimpin pertandingan dan bertanggung jawab atas semua keputusan. Dengan menyuntikkan teknologi ke dalam permainan, ini bisa mengurangi decision skill dari wasit. Sebagai profesional yang memahami aturan dan memberikan putusan berdasar FIFA's Laws of The Game, wasit adalah orang paling paham aturan, oleh sebab itu dirinya diberikan mandat untuk menjadi pengadil dalam pertandingan. Hawk Eye, Cairos Chip, akan mengurangi peran wasit dalam sebuah pertandingan. Untuk sebuah teknologi yang diciptakan untuk membantu, ini bisa menurunkan standar wasit di kemudian hari, ujung-ujungnya kualitas wasit bisa menurun. Karena sebuah keputusan memengaruhi pertandingan, mental pemain, atmosfer pertandingan, suporter, dan seluruh pemirsa yang menyaksikan lewat televisi. Inilah yang dirasakan Graham Poll, bila sebuah stadion memiliki monitor yang menayangkan replay suatu kejadian. Tekanan akan meninggi bila wasit salah mengambil keputusan, dan berpotensi memicu kericuhan di stadion. Tayangan ulang bisa menyulut tuntutan perubahan keputusan wasit, ketidakpuasan yang berujung tindakan anarkis, dan ini yang tidak seharusnya terjadi. Video Replay adalah solusi paling realistis saat ini, sebuah monitor dengan tayangan dari berbagai sisi kamera diperuntukkan bagi ofisial keempat, sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan wasit. Ini jelas masih diperdebatkan, terutama bila benar-benar diimplementasikan dalam aturan resmi. Karena baik-buruknya masukan dari asisten wasit, bergantung dari baik-buruknya siaran pertandingan, kamera-dalam hal ini pemilik hak siar yang mengabadikan momen-momen pertandingan. Perbaikan tentunya mesti dilakukan, di Indonesia tayangan ISL, LPI, maupun Liga T-Phone masuh di bawah standar kualitas siaran sepakbola yang baik. Di samping itu, penjagaan kualitas wasit dan peningkatan mutunya. Sepakbola bukan hanya urusan pemain, manajer, pelatih, dan suporter saja, wasit adalah salah satu entitas penting yang kualitasnya pun harus ditingkatkan. Wasit adalah LOTG berjalan, yang menegakkan aturan permainan, memberikan punishment kepada setiap pelanggar, dan memberikan putusan setiap kejadian. Di lapangan, tiada yang memiliki kuasa paling tinggi selain wasit, Presiden yang menonton dari tribun pun tak punya kekuatan untuk menghentikan pertandingan atau mengesahkan sebuah gol. Sisi menusiawi adalah hal lumrah, kita bisa menoleransi Wayne Rooney ketika tidak mampu menjebol gawang Arsenal, kita bisa menoleransi Jose Mourinho yang gagal mengalahkan Barcelona, dan kita lebih sering tidak menoleransi sifat manusia yang tak sempurna pada diri referee. Bila suatu saat teknologi memasuki sepakbola lebih jauh, mungkin kita bisa membayangkan wasit virtual memimpin pertandingan 20 tahun lagi. Di mana saat itu pada setiap bola ditanamkan chip, kamera hawk eye di penjuru stadion, pemberian sensor di sepatu dan pakaian pemain untuk memutuskan ada-tidaknya kontak untuk sebuah diving atau pelanggaran, hingga sensor penangkap audio untuk menangkap ucapan-ucapan tidak senonoh pemain di lapangan. Tak akan lagi ada wasit sehebat Pierluigi Collina, Graham Poll, Horacio Elizondo, dan Purwanto. Dan sepakbola bisa seperti game PES, di mana evolusi terjadi saat wasit direpresentasikan teknologi kecerdasan buatan yang tidak menoleransi kesalahan, pada saat yang sama game seperti FM malah mencoba menyuntikkan sisi-sisi kemanusiaannya, kontras. Sepakbola bisa kehilangan jatidirinya.

"So, like it or not, the beautiful game is made up of mistakes as much as outstanding play. Bad tackles, ill-advised offside traps and incorrect refereeing decisions - they are all part and parcel of football." Graham Poll.

referensi : edition.cnn.com/2011/SPORT/football/05/03/football.fifa.goalline.technology/?hpt=T2 bleacherreport.com/articles/529733-why-fifa-should-accept-some-form-of-instant-replay-for-football-matches diagonalrun.wordpress.com/2011/05/01/a-better-solution-than-goal-line-technology africanfootball.mtnfootball.com/live/content.php?Item_ID=43546 www.telegraph.co.uk/sport/football/international/3029379/Replays-put-too-much-pressure-on-referees.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun