Bagi orangtua, masa kanak-kanak merupakan fase yang penting dimana pada fase ini orangtua harus mendidik dan menanamkan norma-norma dan arahan-arahan kepada anaknya. Pada fase ini, orangtua diharapkan memberikan stimulus kepada anaknya karena anak harus melewati masa pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut Montessori, dalam perkembangan anak-anak terdapat masa-masa sensitif yang ditandai dengan tertariknya terhadap suatu objek dan mengabaikan objek-objek yang lain. Salah satu masa sensitif pada perkembangan anak adalah sensitivitas terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.
Aspek-aspek sosial kehidupan anak lebih cenderung pada identitas, relasi sosial, dan gender mereka (Santrock, 1995). Orangtua sebagai orang terdekat dengan anak seharusnya memberikan bimbingan  dan pemahaman mengenai masalah indentitas, terutama masalah gender. Ketika anak dalam masa pengenalan jenis kelamin serta perannya, tugas utama dari orang tua adalah memperkenalkan hal-hal mengenai pembentukan identitas gender sesuai dengan jenis kelamin anak, seperti nama, mainan, pakaian, gaya rambut, warna, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya setiap orangtua menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika orang tua memiliki anak laki-laki maka orangtua menginginkan anak laki-lakinya menjadi gagah dan perkasa, sehingga ketika anak laki-lakitersebut ingin bermain permainan seperti masak-masak, main boneka, lompat tali, dan sebagainya orang tua akan marah karena menurut orangtua permainan tersebut adalah permanan yang diperuntukkan bagi anak perempuan. Begitupun sebaliknya, anak perempuan dilarang bermain bola, main pistol-pistolan, perang-perangan, manjat pohon dan sebagainya, dengan alasan permainan tersebut dapat mengubah citra perempuan yang lemah lembut.
Hal tersebut merupakan kesalahan pola asuh yang dapat menyebabkan terjadinya kesalah pahaman pada diri anak. Padahal segala jenis permainan itu dapat membantu menumbuhkan dan mengembangkan potensi kecerdasan anak.
Disamping itu, ada juga orangtua yang membiarkan anaknya bermain sesuai dengan apa yang dikehendakinya, meskipun permainan tersebut tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Orangtua seharusnya berlaku imbang, jika orangtua memberi kebebasan pada anaknya untuk bermain apa saja yg diinginkan oleh anak, hendaknya orangtua memberikan pengertian pada anak tentang gender, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Misalnya anak laki-laki menjadi seperti anak perempuan dan sebaliknya anak perempuan menjadi seperti anak laki-laki.
Menanamkan pendidikan gender pada anak tidak hanya melalui permainan, tetapi bisa juga dengan mengenalkan gambaran orang dewasa dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang memiliki pekerjaan, sifat, dan penampilannya.