Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Satu Malam, di Jakarta (Bagian Kedua)

24 April 2018   11:04 Diperbarui: 24 April 2018   11:28 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SOPIR TAK BUTA POLITIK 

Tak banyak yang saya tahu tentang Jakarta. Kiblat saya hanya bisa melihatnya di berita televisi atau sinetron percintaan yang penuh gombal dan klise. Atau, mengenal Jakarta dari esai-sai Seno Gumira Ajidarma, "Affair : Obrolan Tentang Jakarta" dan "Jakarta Undercover"- nya Moammar Emka's. Mungkin tontonan dan bacaan saya terlalu picik. Harap maklum. 

Jakarta yang ramai. Jakarta yang padat. Jakarta yang aduhai. Jakarta yang banyak omong. Jakarta yang macet. Jakarta yang megah. Jakarta yang penuh sensasi nan fantasi. Pusat dari kebudayaan Indonesia. Pusat pergerakan. Pusat politik. Pusat pebisinis. Pusat kaum urban mengadu nasib. Jadi artis. Ingin terkenal masuk televisi. Cari rezeki untuk yang di kampung, atau jadi perampok berdasi. 

Kami berdua duduk di belakang, taksi daring, berjauhan dan saling menyandarkan badan ke arah pintu. Sopir menyetel lagu-lagu pop rock populer. Kebetulan, mobil daring yang kami tumpangi sopirnya asyik diajak cerita. Saya menanyakan apakah dia asli orang Jakarta. Dia katakan bahwa orangtuanya Jawa dan Ambon. 

Di pertengahan jalan, sopir menanyakan mau lewat mana arah ke Monas. Saya serahkan ke kawan saya. 

Kami memutuskan melewati lorong berlampu, jalanan yang lebar, kerlap-kerlip malam. Hari itu untung saja tak macet dan saya bisa benar-benar menikmati suasana malam di Jakarta. 

Saya lihat opir berselempang sarung lipatan. Sarung motif Betawi. Kurang songkoknya saja. Hal yang tepat untuk menanyakan beberapa hal.

"Kampanye sudah lewat, Pak," kata saya, mencoba untuk memulai. 

Ia tertawa lepas. Ia katakan, jika lagi kejar setoran, ia selalu memakai sarung Betawi yang diselempangkan di leher. Seminggu tiga kali ia ganti sarung tersebut.

Ternyata ia banyak cerita. Katanya, sudah 48 tahun ia hidup, tinggal, menetap, dan mencari rezeki di Jakarta, tak pernah ia rasakan sosok kepemimpinan sepertinya. 

"Tak habis pikir kenapa dia dipenjara. Begitulah hidup, jika ingin ada perubahan pasti ada saja orang yang akan mengganggunya. Berpuluh-puluh tahun saya hidup di Jakarta tak pernah saya menjumpai sosok sepertinya. Heran saya," keluhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun