Mohon tunggu...
alfian pd
alfian pd Mohon Tunggu... -

:3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Pendidikan Karakter Terhadap Budaya korupsi

8 Mei 2014   03:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 2303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Korupsi di Indonesia telah menjamur di berbagai segi kehidupan. Dari Instansi tingkat desa, kota, pemerintahan, hingga pendidikan.  Bisa di bilang korupsi sudah membudaya di Indonesia Salah satu penyebab terpuruknya bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi maupun politik, yaitu suburnya tindak kejahatan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Pada masa orde baru, tindak pidana korupsi dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat. Namun kemudian, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, gejala desentralisasi perilaku korupsi pun merebak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara pusat, tetapi juga banyak dilakukan oleh pejabat atau raja-raja kecil di tingkat provinsi, kabupaten/kota, sampai kelurahan.Bahkan  dalam instansi pendidikan budaya korupsi juga sudah menyebar.

Seperti kasus dalam makalah ini, Seorang Kepala sekolah menggunakan sebagian dana BOS untuk kepentingan pribadinya. Dana BOS yang seharusnya berguna untuk mereka yang tidak mampu tapi malah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Seorang kepala sekolah pasti saja jenjang pendidikannya tinggi tetapi apa yang terjadi? Walaupun berpendidikan tinggi dia masih saja korupsi. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan tinggi belum tentu memiliki karakter mulia.Untuk itu pendidikan karakter sangat dibutuhkan agar budaya korupsi tidak terjadi secar terus menerus. Selain itu juga untuk mencetak generasi emas yang jujur dan berkualitas.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai seberapa besar pengaruh pendidikan karakter terhadap budaya korupsi yang terjadi di Indonesia.

B.Perumusan Masalah

1.Apakah yang dimaksud dengan korupsi?

2.Apa saja dampak korupsi dalam pendidikan?

3.Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter?

4.Apa saja bentuk-bentuk penddikan karakter?

5.Apa tujuan dari Pendidikan karakter?

6.Bagaimana pengaruh Pendidikan karakter dalam mengurangi budaya korupsi?

C.Tujuan Penulisan

1.Untuk mengetahui pengertian dari korupsi.

2.Untuk mengetahui dampak korupsi dalam pendidikan.

3.Untuk mengetahui pengertian dari pendidikan karakter.

4.Untuk mengetahui bentuk-bentuk pendidikan karakter.

5.Untuk mengetahui tujuan dari pendidikan karakter.

6.Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pendidikan karakter dalam mngurangi budaya korupsi.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Definisi Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).

Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;

2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.

Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Subekti dan Tjitrosoedibio : 1973). Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).

B. Dampak Korupsi Dalam Pendidikan

Terdapat kesulitan untuk menilai praktek koriipsi mana yang memiliki pengaruh paling merusak terhadap pendidikan, dan dengan demikian juga mempertegas praktek mana yang hendaknya dituju sebagài prioritas dalam suatu upaya antikorupsi. Bagaimanapun, isu-isu di bawah ini hendaknya menjadi perhatian bersama:

1.Merosotnya kualitas pendidikan.

Merosotnya kualitas pendidikan ditandai dengan tidak adanya atau rendahnya perlengkapan yang berkualitas, adanya ukuran-ukuran mutu yang rendah, dan adanya kandidat yang berkualifikasi dan/atau bermotivasi rendah yang terpilih (atau membeli posisi) untuk guru atau jabatan lainnya. Meskipun disadari bahwa pendi­dikan adalah sebuah sarana yang penting untuk pemba­ngunan ekonomi dan perbaikan standar penghidupan, khususnya di negara-negara berkembang, tetapi terda­pat pengakuan umum bahwa kesadaran ini jarang tereja­wantah, sehingga korupsi dalam sistem-sistem pendi­dikan telah merusak kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang dapat diraih oleh sebuah negara un­tuk memiliki self-sustainability (keberlanjutan diri sendiri/ Selain itu, rendahnya kualitas dalam sistem pendidikan dari suatu negara dapat menyebabkan generasi mudanya mencari peluang pendidikan yang lebih baik di negara lain.

2. Kerugian finansial.

Pendidikan di banyak negara mewakili suatu kom­ponen pengeluaran publik yang sangat besar, bahkan terbesar pertama atau kedua. Sebuah survey di Kenya memperkirakan bahwa Departemen Pendidikan kehilangan sebanyak kira-kira 480 juta dolar US akibat korupsi, kecorobohan, dan pemborosan selama tahun 1994-2001. Di awal abad kedua puluh satu, pengeluaran publik global untuk pendidikan mencapai satu triliun dolar US. Ukuran anggaran pendidikan yang sangat be­sar dan jumlah aktor yang terlibat dalam aktivitas- aktivitas pendidikan adalah faktor-faktor penting yang menjadi alasan yang sangat merisaukan kita semua.

3. Ketidakadilan sosial.

Korupsi adalah hukuman bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin yang kurang mampu mengenyam pendidikan (yang korup). Dengan demikian, pendi­dikan memihak kepada kelompok-kelompok masya­rakat kaya. Pengurangan pengeluaran pendidikan pu­blik akan memperendah potensi pertumbuhan sebuah negara melalui penurunan pembangunan modal insani, dan dengan demikian memperburuk ketidakadilan penghasilan. Kekacauan sosial adalah agenda dari masyarakat-masyarakat yang lebih mendasarkan kemajuan atas uang daripada nilai yang sebenarnya.

4. Pengurangan tingkat partisipasi.

Pengurangan tingkat partisipasi mengimplikasikan semakin sedikitnya sekolah yang dibangun dan dipelihara. Hal ini mengakibatkan kurangnya angkatan kerja yang terdidik serta menyebabkan lambat dan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi. Be­sarnya jumlah penduduk yang tidak terdidik menjadi sebuah penghambat untuk investasi. Selain itu, demokrasi tidak dapat dibangun secara baik dan tidak mendapat tempat yang bagus untuk tumbuh.

5. Hilangnya akhlak mulia.

Ketidak jujuran dan korupsi mendapat penghargaan. Generasi muda mengembangkan sikap sinis dan antipati. Kekuasaan berdasarkan hukum (ruJe of law) dapat terpengaruh dan menjadi sebuah ancaman yang besar bagi investasi. Hal ini dapat menimbulkan keti­dakpercayaan terhadap pemerintah dan rendahnya partisipasi dalam sistem politik, serta mengganggu demokrasi.

6. Skala permasalahan.

Dampak korupsi menjangkau lebih jauh dan meli­batkan lebih-banyak aktor. Sektor pendidikan adalah sektor publik tempat banyak orang mengalami kontak sosial. Konsekuensi korupsi menjangkau tidak hanya pengguna akhir dari sistem pendidikan, yaitu murid dan mahasiswa, tetapi dampak negatifnya juga mem­pengaruhi para orang tua, guru, dan para administra­tor dari lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hal banyaknya jumlah orang yang dipengaruhi oleh keru­sakan korupsi, pendidikan barangkali merupakan yang terburuk

C.Arti Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.

Menurut Akhmad Sudrajat, supaya kita lebih mudah memahami makna pendidikan karakter, kita mesti mengerti makna dari karakter itu sendiri terle­bih dahulu. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepri­badian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Lain halnya dengan pendapat Tadzkiroatun Musfiroh (2008). Menurutnya, karakter mengacu pada se rangkaian sikap {attitudes),perilaku {behaviors), motivasi (;motivations), dan keterampilan {skills). Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.

Seseorang dianggap memiliki karakter mulia apabila ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang potensi dirinya serta mampu mewujudkan potensi itu dalam sikap dan tingkah lakunya. Adapun ciri yang dapat dicermati pada seseorang yang mampu memanfaatkan potensi dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap terpuji, seperti penuh reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif-inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, berani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai waktu, penuh pengabdian, dedikatif, mampu mengendalikan diri, produktif, ramah, cinta keindah­an, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.

Seseorang yang memiliki karakter positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Dengan demikian, karakter atau karakteristik adalah realisasi kembangan positif dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku.

Menurut David Elkind dan Freddy Sweet, Ph.D. (2004), yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Dalam hal ini, guru membantu membentuk watak peserta didik agar senantiasa positif. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan caranya berperilaku, berbicara, ataupun menyampaikan materi, bertoleransi, serta berbagai hal terkait lainnya.

Adapun T. Ramli (2003) menyatakan bahwasanya pendidikan karakter memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral atau akhlak. Dalam penerapan pendidikan karakter, faktor yang harus dijadikan sebagai tujuan adalah terbentuknya kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik, dan hal itu sama sekali tidak terikat dengan angka dan nilai. Dengan demikian, dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ialah pendidikan nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia.

Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada peserta didik, yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaan-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerja sama, percaya diri, kreatif, mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sifat kepemimpinan; baik, rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain, dalam upaya menerapkan pendidikan karakter, guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekadar pengajaran dan wacana.

Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai- nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.

Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter dasar tersebut, yang selanjutnya dikembang­kan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolut atau relatif), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Lebih lanjut menurut Akhmad Sudrajat, saat ini, tidak sedikit pihak yang menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan itu sangat beralasan dan dilatarbelakangi oleh fenomena meningkat­nya kenakalan remaja dalam masyarakat dan kasus-kasus dekadensi moral lainnya. Di kota- kota besar, fenomena dekadensi moral yang melanda para remaja sudah sedemikian pa­rahnya, sehingga banyak pihak yang meminta agar lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda mampu meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian dan karakter.

D.Bentuk-Bentuk Pendidikan Karakter

Ada beberapabentuk pendidikan karakter yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik sejak dini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

A.Jujur

B.Disiplin

C.Percaya Diri

D.Peduli

E.Mandiri

F.Gigih

G.Tegas

H.Bertanggung Jawab

I.Kreatif

J.Bersikap Kritis

E.Tujuan Pendidikan Karakter

A.Versi Pemerintah

1.Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral

2.Membentuk Manusia Indonesia yang Cerdas dan Rasional

3.Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras

4.Membentu Manusia Indonesia yang Optimis dan Percaya Diri

5.Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa Patriot

B.Versi Pengamat

Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pen­didikan karakter bertu­juan membentuk masya­rakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berto- leran, bergotong royong, berjiwa patriotik, ber­kembang dinamis, serta berorientasi ilmu penge­tahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.

Selain itu, menurut Sahrudin, pendidikan karakter memiliki fungsi-fungsi berikut:

1.Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.

2.Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.

3.Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dan pergaulan dunia

BAB III

PEMBAHASAN

A.Gambaran masalah

Lembaga pendidikan adalah salah satu institusi dan instrumen pelaksana pendidikan nasional yang rentan terhadap berbagai praktik korupsi. Permasalahan yang akan diangkat kali ini adalah mengenai Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Lausa Kabupaten Nias Selatan, Siwaris Budi (SB) yang terbukti korupsi dana BOS untuk kepentingan pribadi. SB dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (11/12/2013). Terdakwa yang dalam persidangan memakai kemeja berwarna kuning itu, dianggap menyelewengkan dana BOS mulai triwulan IV 2010 sampai triwulan I tahun 2012 senilai Rp 138. 877.500.
Karena kesalahannya, terdakwa melanggar pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana  Majelis Hakim dalam perkara tersebut diketuai Lebanus Sinurat dan  beranggotakan Agus Setiawan dan Achmad Drajat. Sebelumnya, Lebanus Sinurat juga memerintahkan terdakwa membayar denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. SB juga dibebankan membayar uang pengganti Rp138.877.500. Jika tidak dibayar dalam waktu yang ditentukan, harta bendanya akan disita, namun bila tidak mencukupi harus diganti kurungan badan 3 bulan penjara.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Edi Tarigan yang menuntut terdakwa Siwaris Budi selama 6,5 tahun penjara denda Rp50 juta subsider 3 bulan serta meminta majelis hakim memberikan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti senilai Rp301.371.500 subsider 3 tahun 3 bulan penjara. Mendengar putusan majelis hakim, terdakwa mengaku menerima putusan tersebut. Sedangkan JPU mengatakan pikir-pikir.
Diketahui, dalam dakwaan jaksa terdakwa selaku pengelola dana BOS yang diterima SMPN 1 Lausa menggunakan sebagian dana BOS tahun 2010-2012 tidak sesuai peruntukkannya.  Dana BOS SMPN 1 Lausa diselewengkan terdakwa mulai Triwulan IV tahun 2010 sampai Triwulan I tahun 2012 senilai Rp301.371.500 dari total dana BOS yang diterima dalam periode itu senilai Rp800 juta lebih.  Sebagian dana BOS yang tidak disalurkan terdakwa itu digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya.

Tanpa disadari hal yang dilakukan oleh SB tersebut dapat berdampak buruk terhadap pendidikan di Indonesia. Seperti Merosotnya kualitas pendidikan. Pendi­dikan adalah sebuah sarana yang penting untuk pemba­ngunan ekonomi dan perbaikan standar penghidupan, khususnya di negara-negara berkembang. Dana BOS yang digunakan untuk kepentingan pribadi seharusnya untuk mengembangkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut sehingga menghasilkan peserta didik yang berkualitas dan mampu bersaing di dunia luar.

Selain itu juga adanya Ketidakadilan sosial. Seperti yang kita ketahui bahwa dana BOS berguna bagi masyarakat yang kurang mampu sedangkan korupsi adalah hukuman bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin yang kurang mampu mengenyam pendidikan (yang korup). Dengan demikian, pendi­dikan memihak kepada kelompok-kelompok masya­rakat kaya. Pengurangan pengeluaran pendidikan pu­blik akan memperendah potensi pertumbuhan sebuah negara melalui penurunan pembangunan modal insani, dan dengan demikian memperburuk ketidakadilan penghasilan.

B.Analisis Penyelesaian Masalah

Melihat permasalahan yang terjadi diatas, sangat sulit dipercaya memang. Mengapa? Karena ternyata budaya korupsi di Indonesia bukan hanya terjadi dalam dunia politik, tetapi dalam dunia pendidikan pun bisa terjadi. Yang lebih ironisnya terdakwa adalah seorang kepala sekolah yang seharusnya menjadi teladan baik di Sekolah tersebut. Apa yang dia pikirpkan? Bukankah dia adalah seorang yang berpendidikan? Apa yang  dapat kita pelajari  dari semua ini?. Bahwa pendidikan yang hanya menghasilkan ijazah dan mengandalkan nilai tidak menjamin seseorang tersebut memiliki karakter yang baik dan berbudi pekerti.

Maka itu menerapkan pendidikan karakter di sekolah sejak dini sangat dibutuhkan untuk seorang individu, agar tidak mudah terpengaruh untuk melakukan hal hal yang tidak bermoral seperti  itu (korupsi). Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil. Dari pengertian tersebut sangat jelas bahwa dalam pendidikan karakter, seorang individu dituntut untuk mampu memiliki sifat yang  Jujur, Disiplin, Percaya Diri, Peduli, Mandiri, Gigih, Tegas, Bertanggung Jawab dan Kreatif. Semua sifat tersebut dapat juga disebut KARAKTER POSITIF.

Seseorang yang memiliki karakter positif terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, negara, serta dunia internasional pada umumnya, dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya disertai dengan kesadaran, emosi, dan motivasi (perasaannya).

Dalam penerapan pendidikan karakter, faktor yang harus dijadikan sebagai tujuan adalah terbentuknya kepribadian seorang individu supaya menjadi manusia yang baik, dan hal itu sama sekali tidak terikat dengan angka dan nilai. Dengan demikian, dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ialah pendidikan nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia.

Selain itu, dalam menjalankan pendidikan karak­ter, semua komponen sekolah hendaknya dilibatkan di dalamnya, termasuk komponen-komponen pendi­dikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembe­lajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja.

Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?

Bisa dibayangkan apabila setiap individu di suatu negara memiliki karakter seperti yang disebutkan diatas? Atau bisa dibayangkan tujuan pendidikan karakter dapat tercapai?? Apa yang akan terjadi dengan INDONESIA?? KORUPSI dijamin tidak akan ada! Memang tidak mudah untuk menanampkan pendidikan berkarakter kepada setiap individu, tetapi hal yang terpenting adalah kita harus berusaha agar menjadi orang yang lebih baik dan memiliki KARAKTER POSITIF!

BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

Korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah. Selain terjadi dalam instansi politik, budaya korupsi juga sudah menyebar ke instansi pendidikan. Apalagi semenjak adanya dana BOS. Jenjang pendidikan yang tinggi tidak menjamin seorang individu meiliki karakter yang baik. Untuk itu salah satu upaya agar masalah budaya korupsi di Indonesia dapat dihilangkan adalah dengan menerapkan pendidikan karakter.

B.Saran

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini. Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Menerapkan Pendidikan karakter adalah salah satu upaya yang efektif untuk mengurangi budaya korupsi yang melanda INDONESIA.



DAFTAR PUSTAKA

Aunillah, N. I. (2011). Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Laksana.

Kesuma, D., Darmawan, C., & Permana, J. (2008). Korupsi dan Pendidikan Antikorupsi. Bandung: PUSTAKA AULIA PRESS.

Korupsi, T. P. (2011). Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

http://www.medanbagus.com/news.php?id=20238 (Rabu, 11 Desember 2013 )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun