Laporan Keuangan: Dokumen Bisnis atau Alat Menentukan Siapa yang Makan?
Di ruang rapat yang sejuk, para eksekutif menatap grafik dan angka yang terpampang di layar. Laba naik, efisiensi meningkat, dan strategi pemotongan biaya berjalan sesuai rencana. Di ruangan yang sama, seorang akuntan mengetik laporan tahunan, memastikan bahwa setiap transaksi tercatat, setiap neraca seimbang. Semua terlihat baik di atas kertas.
Namun, di luar gedung yang megah itu, ada pekerja yang baru saja menerima pemberitahuan pemutusan hubungan kerja. Ada keluarga yang harus mengurangi jatah makan karena harga kebutuhan pokok terus melonjak. Ada pedagang kecil yang kehilangan pelanggan karena kebijakan bisnis yang tak berpihak kepada mereka.
Di mata para petinggi perusahaan, laporan keuangan adalah alat ukur kesuksesan. Tetapi di dunia nyata, laporan itu bisa menjadi vonis bagi mereka yang berada di bawah—mereka yang bekerja keras, tetapi tetap tak mampu membeli sepiring nasi.
Â
Manusia Lapar: Ketika Keuntungan Perusahaan Tak Sampai ke Meja Makan
Indonesia terus mencatat pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Angka-angka makroekonomi menunjukkan bahwa negara ini bergerak maju. Namun, di balik data tersebut, ada realitas lain yang tersembunyi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 9,22%, sementara Gini Ratio sebesar 0,384, menandakan ketimpangan yang nyata. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cerminan dari kehidupan jutaan orang yang bekerja keras tetapi tetap miskin.
Upah Minimum Provinsi (UMP) di DKI Jakarta pada 2025 ditetapkan sebesar Rp4,9 juta. Namun, dengan biaya hidup yang terus meningkat, jumlah itu tak cukup bagi banyak keluarga untuk hidup layak. Harga bahan pokok melambung, biaya pendidikan terus naik, dan akses kesehatan masih menjadi tantangan.
Lalu, ke mana perginya semua keuntungan yang dicatat dalam laporan keuangan perusahaan? Jika pertumbuhan ekonomi terus terjadi, mengapa banyak orang tetap kelaparan?
Â
Manusia Serakah: Permainan Licik di Balik Laporan Keuangan
Sementara banyak orang berjuang untuk bertahan hidup, segelintir lainnya berpesta. Mereka menguasai angka, memanipulasi laporan keuangan, dan mengelola sumber daya seolah-olah itu adalah milik pribadi.