Kita pasti sepakat bahwa Egi Maulana Vikri adalah seorang talenta muda berbakat yang dimiliki oleh bangsa ini. Pemuda kelahiran 7 Juli 2000 ini adalah pesepakbola yang naik daun di timnas U-18 arahan Pelatih Indra Sjafri yang tampil di AFF cup U-18. Walaupun timnas tidak juara namun namanya berhasil mencatatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak.
Pada Maret 2018 media nasional dibuat gegap gempita dengan bergabungnya Egi ke salah satu klub Polandia, Lechia Gdansk. Ia sekaligus menjadi oase yang mengobati kerinduan pecinta bola tanah air akan hadirnya pemain Indonesia yang bisa menembus kasta tertinggi di Liga Eropa. Dikontrak dengan durasi 3 tahun dan opsi perpanjangan 2 tahun, ia mencuat menjadi talenta muda Asia yang bermain di Eropa.
Lechia Gdansk bukanlah klub yang memiliki sejarah hebat di Polandia. Namanya masih kalah mentereng dibanding dengan Legia Warsawa. Namun prestasi mereka di musim 2018/2019 lalu tak bisa dianggap remeh. Mereka adalah juara Piala Polandia dan Piala Super Polandia (seperti Piala FA di Inggris).
Pada musim perdana Egi di Polandia, ia lebih banyak dimainkan di tim muda Lechia Gdansk yang bermain di level kelima liga Polandia. Ia ditempa di level junior dan mencatatkan 16 kali penampilan.
Di level senior ia hanya mencatatkan tampil di dua pertandingan yang jika ditotal ia hanya bermain 10 menit. Hal ini mungkin masih wajar karena ia sama sekali baru dan awam mengenai kompetisi Eropa yang persaingannya juga jauh lebih berat. Tentu ia masih perlu beradaptasi
Dimusim keduanya, musim kompetisi 2019/2020 Egi mendapatkan kepercayaan dari pelatih Piotr Stokowiec untuk menjadi starter di pekan ke-2 liga. Tepatnya di tanggal 28 Juli 2019 kontra Wisla Krakow yang berakhir dengan kedudukan imbang 0-0, itu terjadi hampir setahun lalu. Ia tampil selama 45 menit babak pertama sebelum diganti di babak kedua. Sayangnya ini adalah penampilan terakhirnya di liga musim ini karena setelah itu ia tidak pernah mendapatkan menit bermain.
Ia berkali-kali masuk di tim cadangan Lechia Gdansk tanpa pernah dimainkan. Jika dibandingkan dengan pemain seusianya di klub yang sama, Egi masih kalah dari Kristen tobers (19tahun) yang mencatatkan sembilan kali tampil dan  kacper urbanski (16 tahun) mencatat dua kali tampil.
Pernyataan Dusan Bogdanovic mungkin benar adanya bahwa masyarakat Indonesia sedikit kurang sabar dan menginginkan Egi bisa berprestasi secara instan. Namun berlatih tanpa pernah merasakan atmosfer pertandingan dan hanya menghagatkan bangku cadangan itu juga tidaklah baik bagi seorang pesepakbola profesional.
Ambil contoh Gabriel Barbosa. Pemain Brazil yang digadang-gadang menjadi bintang di Inter. Ia merupakan bintang di klub sebelumnya Santos di liga Brazil. Namun di Inter malah gagal mendapat kepercayaan dari pelatih dan lebih banyak duduk sebagai pemain cadangan hingga akhirnya sering dipinjamkan. Ia pun gagal bersinar dan saat ini kembali ke Santos.
Lalu ada cerita di Amerika tentang talenta muda bernama Fredy Adu. Ia menjadi bintang pada saat junior. Saat itu media lokal begitu menggembar-gemborkan prestasinya dan menyebutnya sebagai bocah "ajaib".