Enklave dan gentrifikasi adalah dua fenomena penting yang menunjukkan dinamika sosial dan ruang dalam kota modern. Keduanya merupakan bentuk segregasi dan transformasi ruang yang berkaitan erat dengan konflik kelas dan proses kapitalisasi kota. Ringkasnya secara definisi,
- Enklave merupakan suatu wilayahnya, yaitu wilayah urban yang tertutup, eksklusif, dengan kontrol akses ketat, memisahkan kelompok sosial secara fisik dan sosial.
- Gentrifikasi merupakan suatu proses, yaitu proses perubahan demografis dan ekonomi akibat masuknya kelas menengah/atas ke kawasan lama yang menyebabkan pengusiran kelas pekerja atau warga asli.
Persamaan antara kedua istilah tersebut,
- Keduanya membentuk wilayah urban yang tertutup, eksklusif, dengan kontrol akses ketat, memisahkan kelompok sosial secara fisik dan sosial.
- Keduanya sebagai bentuk segregasi perkotaan modern yang dikemas dalam keamanan dan kenyamanan transformasi sehingga menciptakan kawasan "modern" yang eksklusif.
Perbedaan antara kedua istilah tersebut,
- Kedua istilah tersebut ada beberapa perbedaan, biasanya kawasan yang terkena gentrifikasi tidak ada batas pemisah fisik karena orientasi pada perubahan wilayah, sedangkan enklave memiliki "tembok pemisah" yang nyata, sehingga keduanya punya kontrol akses yang berbeda, enklave sangat ketat, sedangkan kawasan gentrifikasi biasanya lebih mudah diakses.
- Kawasan enklave biasanya untuk ruang aman bagi para elite, sedangkan kawasan gentrifikasi sebagai ruang investasi dengan nilai ekonomis yang tinggi bagi para elite.
Tentunya kedua istilah tersebut memiliki beberapa dampak dari dinamika perkotaan tersebut,Â
- Dampak positif, enklave memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penghuni, peningkatan fasilitas, dan gentrifikasi tentu ada peningkatan revitalisasi kawasan, kenaikan nilai properti di kawasan tersebut.
- Dampak negatif, enklave menimbulkan eksklusi sosial, ketegangan kelas, menimbulkan dualitas kota dan gentrifikasi menimbulkan pengusiran warga asli, kehilangan identitas kultural, menciptakan alienasi sosial.
Contoh wilayah keduanya di Jakarta khususnya, kawasan enklave, merupakan kawasan elit dengan kontrol ketat, terbatas aksesnya seperti Pondok Indah (Jakarta), Permata Hijau, Menteng. Sedangkan, kawanan yang terkena gentrifikasi, merupakan kawasan lama yang direvitalisasi dan menyebabkan penggusuran warga asli misalnya Kota Tua Jakarta, Menteng, Kampung Akuarium.
Ketegangan dan Kesenjangan Sosial dalam Satu Wilayah Perkotaan
Fenomena enklave dan gentrifikasi tidak hanya berkaitan dengan bentuk fisik kota, melainkan juga membuka medan konflik sosial antara kelompok-kelompok dengan posisi dan kuasa yang timpang. Di banyak kota besar seperti Jakarta, muncul ketegangan antara warga lama yang telah menetap puluhan tahun dengan pendatang baru dari kelas menengah ke atas. Konflik ini sering kali berpusat pada perbedaan kebutuhan, warga lama bertahan demi hidup dan komunitas, sementara pendatang membawa estetika baru yang mendorong naiknya biaya hidup dan perubahan wajah kota. Dalam situasi ini, relasi kuasa menjadi semakin jelas pemerintah dan pengembang properti sering kali berjalan seiring sebagai motor pembangunan, sedangkan warga kecil tersisih tanpa ruang negosiasi. Gentrifikasi dalam banyak kasus menciptakan bentuk baru dari neokolonialisme domestik, di mana kelas atas bertindak layaknya "penjajah" yang merebut ruang dalam kota dari masyarakat yang secara historis telah lebih dahulu tinggal di sana. Proses ini bukan hanya menggusur fisik, tetapi juga menggusur nilai dan identitas. Cultural erasure, hilangnya budaya lokal akibat komersialisasi ruang menjadi akibat yang tak terhindarkan. Warung tradisional, pasar rakyat, dan kampung-kampung komunitas tergerus oleh kafe, galeri seni, dan apartemen vertikal. Kota menjadi indah bagi sebagian kecil orang, tetapi terasa asing dan tidak ramah bagi banyak lainnya.
Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) merupakan contoh nyata bagaimana gentrifikasi dan enklave bisa terjadi secara berurutan dan berkelanjutan. Awalnya, pembangunan PIK dirancang sebagai proyek gentrifikasi besar di pinggiran Jakarta Utara, yang menghadirkan hunian kelas menengah atas dan fasilitas komersial modern di kawasan yang sebelumnya relatif jarang penduduk kelas menengah ke atas. Proses ini mengubah lanskap sosial dan ekonomi kawasan tersebut, menaikkan nilai properti, dan secara perlahan mengusir komunitas lama yang tak lagi mampu bertahan menghadapi kenaikan biaya hidup. Seiring waktu, PIK berkembang menjadi enklave eksklusif dengan kontrol akses yang ketat, dikelilingi pagar, dan dijaga keamanan swasta. Akses ke kawasan ini semakin terbatas bagi kelompok di luar kelas sosialnya, menandai fragmentasi ruang kota yang kuat. PIK 2 yang muncul sebagai proyek pengembangan baru pun sempat viral di media sosial dan berita karena menghadirkan konsep hunian yang lebih mewah dan berkelas, yang kian mengokohkan eksklusivitas kawasan ini. Terlepas dari semua kontroversinya, saya fokus pada konsep-konsep saja. Fenomena PIK ini memperlihatkan bagaimana gentrifikasi tidak hanya menggeser populasi dan fungsi kawasan, tetapi juga berpotensi menutup ruang tersebut menjadi enklave sosial yang menegaskan ketidaksetaraan ruang dan kelas di kota besar seperti Jakarta.
Enklave dan gentrifikasi mencerminkan krisis keadilan spasial yang semakin nyata dalam pembangunan kota-kota besar di Indonesia. Proses urbanisasi yang berlangsung pesat kerap menciptakan ketimpangan ruang, di mana sebagian masyarakat kehilangan akses atas tempat tinggal yang layak akibat ekspansi hunian mewah dan proyek komersial. Kota tidak hanya berkembang secara fisik, tetapi juga mengalami perpecahan sosial akibat segregasi dan penggusuran yang disamarkan dengan narasi modernisasi. Enklave memperkuat eksklusivitas ruang, sementara gentrifikasi mempercepat marginalisasi warga lokal yang tergusur dari lingkungan asalnya.Â