Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Petani Bijak dan Mengagungkan Pendidikan

9 April 2021   11:04 Diperbarui: 9 April 2021   11:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anak-anaknya pintar, tapi sayang, ayah mereka bukan pekerja keras," kata para tetangga kala itu.

"Ah, paling juga anak-anak itu akan berhenti sekolahnya karena tidak ada uang. Mana mampu ayah mereka membayar sekolah mahal itu." Demikian sindiran yang lain.

Apakah Paul marah? Tidak! Sindiran dan cibiran itu malah ditanggapinya dengan senyum. Dia tetap fokus pada ikhtiarnya. Beliau tetap bekerja membanting tulang semampunya. Paul bukan tipe orang yang ngotot mencari uang. Dia tahu kemampuannya, dan tidak pernah bekerja melampaui batas kemampuan fisiknya. Saat yang lain bekerja sangat keras, sampai korbankan waktu tidur siang, Paul malahan selalu meluangkan waktu untuk tidur siang.

Bahkan ketika di kebun pun, dia bisa tidur siang di bawah pohon kopi. Sudah tentu tanpa alas tikar apalagi kasur. Tidak dialas pakai dedaunan juga. Murni beralaskan tanah. Untuk urusan istirahat siang, beliau sangat disiplin. Setiap hari, tidak lebih dari tiga puluh menit. Saya tidak mengarang untuk melebih-lebihkan. Saya menyaksikan sendiri sejak kecil sampai tamat SMA. Bangun tidur, dia bekerja lagi tanpa istirahat sampai jam pulang rumah.

Saat banyak yang mencibir, tidak sedikit pula keuarga yang mendukung. Kakaknya yang laki-laki selalu mendukung dan membela. Saudarinya yang sulung, selalu memberi support dan pasang badan terhadap mereka yang mencela.

Saat panen kopi tiba, dia sangat telaten mengolah. Hasil jualan kopi langsung dipakai untuk membayar sekolah satu tahun. Begitu juga saat panen padi, beras untuk kebutuhan anak-anaknya langsung dia bawa dan sediakan untuk setahun. Ciri khas Paul, ketika dia pergi membayar uang sekolah, dia tidak pernah mau ketemu dengan anak-anaknya. Padahal, kadang kami rindu disapa dan dipeluk, karena lama tidak jumpa. O ya, anak-anaknya tinggal di asrama, dan baru bisa pulang libur ke rumah setiap enam bulan.

Saya tidak pernah mengerti alasannya, sebelum dia ceritakan beberapa bulan lalu. Dia bilang, dia tidak mau ketemu anak-anaknya di sekolah agar kami tidak terbebani. Kami tahu, Paul dan End memberi dan membiayai sekolah anak-anaknya bukan dari kelimpahannya, tetapi mereka memberi dari kekurangannya. Semua yang ada pada mereka, seluruh nafkahnya diserahkan ke anak-anaknya. Bagi saya, mereka betul-betul belajar dari kisah janda miskin yang diceritakan dalam Injil Markus (Mrk. 12:41-44).

Kami hanya dibekali nasihat setiap mau balik ke asrama setelah liburan. Biasanya, malam sebelum hari berangkat ke asrama, saya memilih tidur di kamar mereka. Menjelang tidur, End biasanya memberi nasihat begini: Nana, sekola di'a-di'a. Belajar. Lut toing de guru. Sekola de mu, to landing bora. Toe wajel bombang bora, maik wajel lngg (Anak, sekolah yang benar. Belajar dengan tekun. Ikuti apa yang gurumu ajarkan. Kalian sekolah bukan karena kami kaya, bukan untuk foya-foya, tetapi betul-betul karena miskin). Nasihat ini, setidaknya selalu saya dengar dan alami sendiri. Saya yakin kakak dan adik saya juga menerima nasihat yang sama.

Apa yang dialami dua anak pertamanya, dialami juga oleh anak-anaknya yang lain termasuk saya. Kami diperlakukan sama. Cara Paul membayar uang sekolah dan beras serta kebutuhan asrama, persis sama ketika dia membiayai kedua kakak saya.

Keunggulan lain dari seorang Paul adalah sangat menghargai anak-anaknya ketika kami sudah menginjak kelas satu SMP. Waktu SD, rotan dan lidi selalu menemani kami saat belajar. Kami diawasi. Setiap malam menghafal perkalian. Setelah makan malam, kami wajib belajar, dan dia memerankan diri sebagai guru. Dia menguji anak-anaknya perkalian matematika. Satu salah, satu hantaman rotan di pantat. Dua salah, berarti pantat akan kena hajar dua kali. Saat kami mengantuk waktu belajar, selalu ada rotan atau dua lidi yang akan menyegarkan mata, entah karena hantaman di kepala, atau lecutan di punggung. Dia tidak akan mengganggu atau meminta kami mencuci piring kalau sedang memegang buku.

Semua didikan keras itu sirna ketika kami duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kami betul-betul dihargai, bahkan sediki ke arah dimanjakan. Paul melarang kami ke kebun, dan minta tinggal di rumah saja. Dia juga tidak meminta kami masak nasi. Paul tidak memarahi kami lagi, apalagi dipukul sejak kelas satu SMP. Malahan sebaliknya, dia meminta pendapat kalau ada hal perlu didiskusikan. Paul menganggap kami sudah dewasa dan sudah bisa mandiri.. Bagi Paul, ketika kami masuk SMP, kami sudah berada selangkah lebih maju di depan dia. Namun ada satu kebiasaannya yang tidak pernah sirna. Dia selalu meminta kami memperlihatkan raport.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun