Saya sebelumnya, dalam blog ini, pernah membuat ringkasan putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai sengketa warisan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dalam putusan itu dijelaskan kalau Manggarai menganut budaya patrineal, termasuk dalam hal waris. Menurut hukum adat setempat, hanya anak laki-laki saja yang berhak mendapat warisan dari orang tuanya. Anak perempuan tidak berhak mendapat warisan karena ia akan mendapatkan harta pada saat dia menikah, dan akan mendapat warisan dari suaminya. Namun, MA mengubah hukum adat itu dengan pandangan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki derajad atau kedudukan yang sama dalam waris. Keduanya mendapat hak yang sama atas harta warisan orang tua mereka.
MA rupanya tidak konsisten. Dalam Putusan Nomor 2824 K/Pdt/2017, MA menganulir pendapatnya sendiri. Kasus ini terjadi terhadap hukum adat Bali. Dalam gugatannya, Penggugat memperkenalkan diri sebagai seorang anak laki-laki dan menjadi satu-satunya ahli waris dari orang tuanya berdasarkan hukum adat Bali. Padahal, Penggugat mengakui selain dia, orang tuanya memiliki tiga orang anak perempuan. Namun, menurut Penggugat, ketiga saudaranya tidak berhak mendapat warisan, karena mereka mendapat harta saat menikah keluar.
Pengadilan Negeri Banyuwangi mengabulkan gugatan Penggugat. Putusan tersebut dikuatkan pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan pertimbangan hukum kedua pengadilan di bawahnya. Pada bagian pertimbangan hukumnya, MA berpendapat bahwa konsep pewarisan dalam musyawarah Bali/Hindu: adalah Swadarma dan Swadikara, kewajiban kewajiban dan hak hak, keseimbangan antara keduanya terpancang pada purusa/garis patrilineal. MA berpendapat, "Bahwa anak perempuan akan memperoleh bekal dari orang tuanya ketika akan menikah/kawin keluar."
Menarik untuk dikaji.