Wawancara
Dian Anggraini
Koreografer / Penari
Butuh Support Bukan Sekadar Doa
Tari-tarian tidak lagi sekadar menjadi hobi. Tapi, sudah menjadi pelengkap kebudayaan masyarakat sejak dulu hingga kini. Tanpa tari-tarian maka kebudayaan di suatu tempat tertentu kurang lengkap. Gerakan-gerakan dari para penari yang mencitrakan suatu tema tertentu adalah simbol dari tingkah laku, kehidupan sosial hingga perekonomian suatu daerah.
Perkembangan zaman tidak bisa dielakkan. Tari-tarian sudah menjadi suatu ilmu yang secara khusus mesti dipelajari. Karena itu, ada fakultas tersendiri yang khusus mempelajari bidang ilmu seni tari. Dari sana, tentu saja banyak penari-penari yang terlatih baik secara gerak maupun intelektual.
Ilmu seni tari pun sangat diminati. Banyak orang-orang dari luar daerah rela pergi jauh dari orang tuanya hanya untuk mempelajari ilmu tari. Salah satunya Ulun Lampung. Â Ulun Lampung itu rela kuliah di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) dan ISI Jogjakarta demi mencari tahu tentang keindahan di balik seni pertunjukkan tari, baik tradisi hingga eksperimental.
Kini, tidak sekadar menjadi penari atau koreografer atau master. Ulun Lampung tersebut pun menjadi salah satu pengajar di perguruan tinggi provinsi Lampung. Lantas, bagaimana pengalaman dan pemikirannya tentang seni tari dan geliatnya di Lampung? Berikut petikan wawancara wartawan Lampung News Muhammad Alfariezie bersama Dian Anggraini di JL. Mata Intan, Gang Sawo 7 Ratu Langi, Bandarlampung.
Sebelum kita mulai ke pertanyaan-pertanyaan tentang Tari. Dulu, sebelum Anda sukses sebagai koreografer dan penari. Bagaimana Anda menghilangkan gerogi untuk tampil di depan orang-orang penting negara ini?
Yang pasti, untuk para penari yang masih minim pengalaman naik panggung pertunjukkan maka mestilah merasa kalau panggung adalah rumahnya. Yang namanya rumah pasti sudah dikuasi pemiliknya.
Selain itu, setiap orang memiliki teknik untuk menghilangkan rasa gerogi. Saya pribadi harus fokus ketika ingin tampil di panggung. Saya tidak banyak mengobrol atau bercanda dengan teman-teman dan terus mengatur napas dan pemanasan tubuh. Hal itu, harus saya lakukan agar pikiran tidak beralih ke mana-mana. Lalu, saya tidak meliarkan mata ketika di atas panggung. Dalam arti, saya tidak melihat seluruh penonton atau siapa yang menonton.Â
Saya sendiri harus fokus pada titik tertentu ketika di atas panggung sehingga meminimalisir salah gerak atau tubuh yang tiba-tiba gemetar. Tapi, ada juga beberapa kawan saya yang melakukan hal berbeda sebelum naik panggung. Kawan-kawan saya ada juga yang menikmati makanan dan bercanda sebelum naik panggung. Mungkin cara itu sukses membuat mereka lebih santai. Ya intinya, setiap individu memiliki caranya sendirilah. Teknik-teknik menghilangkan gerogi di atas panggung itu tidak mutlak mesti begini atau begitu.