Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Weri, Cara Masyarakat Adat Kodi Menjaga Kelestarian Alam

31 Oktober 2022   20:43 Diperbarui: 31 Oktober 2022   20:48 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga di salah satu desa di pedalaman Sumba (Sumber:blj.co.id) 

Hampir semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal atau tradisi untuk menjaga alam tetap lestari. Agar ikan-ikan di sungai dan laut tetap beranak-pinak, supaya tanaman dan buah di ladang memberi hasil yang berlimpah-limpah. Agar hutan-hutan tetap lestari. Untuk menghalangi sifat serakah manusialah  yang melahirkan kearifan lokal tersebut. Sebab di dalamnya terkandung sanksi bagi yang melanggar.  

Masyarakat adat di pulau Sumba, setidaknya di kalangan penganut agama Marapu di Kodi, ada tradisi berupa larangan mengambil  hasil dari alam dalam jangka waktu tertentu, baik pada tingkat kampung untuk beberapa kepala keluarga,  maupun pada tingkat parona yang bersifat komunal yang meliputi beberapa desa dan kecamatan sekaligus. Misalnya, tidak boleh memancing atau mengambil hasil laut pada pantai atau sungai tertentu. Tidak boleh memotong kayu di hutan ini, dan sebagainya. Kami menyebutnya "weri". Tradisi ini mirip dengan "sasi"  pada masyarakat adat Maluku dan Papua.

Kalau ingin kebun kelapa memberi hasil maksimal, dilakukan upacara weri. Imam Marapu didatangkan. Ia membaca mantra pelindung kebun kelapa atau obyek yang akan dilindungi weri. Janur kuning dipasang, dan Anda tidak boleh memetik buah kelapa sampai weri "dicabut" pada waktu yang sudah disepakati. Barangsiapa yang melanggar akan terkena tulah atau hukuman: Perut tiba-tiba kembung, buah pelir membengkak, lumpuh, dan lain-lain. Atau, akan ditimpa kesialan. 

Sebenarnya pada masyarakat adat di Kodi sudah ada pembagian masa sakral (paddu) yang antara lain berisi larangan memetik hasil bumi dalam waktu tertentu dan masa profan (kabba) saat orang boleh memanen hasil bumi, yang hasilnya antara lain dipersembahkan kepada Marapu. Benar belaka kata Pengkhotbah: Untuk segala sesuatu ada masanya.

Tetapi kini berbagai praktik kearifan lokal ini makin ditinggalkan. Dikhawatirkan suatu saat nanti akan benar-benar punah. Padahal semua ekspresi, keterampilan, cara bertahan hidup, dan hal-hal yang tak tampak mata namun secara nyata telah menyumbang pada kekayaan budaya dan dihidupi selama ribuan tahun, telah ikut serta membentuk peradaban manusia di sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun