KETIKA siklon Seroja menghantam Kabupaten Sumba Timur, NTT, pada awal April 2021, kawasan Kambaniru yang berjarak  3 kilometer dari Waingapu, ibukota kabupaten,  salah satu daerah yang paling berdampak. Seluruh kampung Kambaniru sejak dari ujung jembatan Kambaniru di dekat Bandara Umbu Mehang Kunda, hingga sejauh empat kilometer persegi terendam air sungai Kambaniru yang meluap setinggi 1,5 meter. Â
"Sekolah kami, terendam selama beberapa hari. Meja, kursi dan lemari terendam air. Buku-buku pelajaran banyak yang hancur. Sekarang bekas air masih kelihatan di tembok meskipun sudah kami lapisi dengan cat," kata Martha Anawulang, S.Pd., Â Pelaksana Tugas Kepala Sekolah Sekolah Dasar Masehi (SDM) Â Kambaniru 1, awal September 2022 lalu.
Ketika itu SDM Kambaniru 1 baru melaksanakan tatap muka secara terbatas akibat Pembatasan Sosial terkait pandemi Covid-19. Tetapi begitu badai Seroja menghantam, Â praktis proses belajar-mengajar terhenti sama sekali selama dua bulan masa pemulihan.
Martha bersama rekan-rekan gurunya resah, bagaimana cara mereka mengajar siswa dalam kondisi demikian? Â Sebab selama itu mereka hanya berpegang pada buku-buku panduan yang dikeluarkan Dinas Pendidikan. Para guru mengajar sesuai panduan dalam kurikulum, ditambah sedikit improvisasi sesuai pengalaman masing-masing.
"Misalnya, saya sudah 27 tahun menjadi guru. Sembilan belas tahun itu saya secara terus-menerus mengajar di kelas awal, terutama kelas 1 SD. Tapi sekarang bahkan buku pegangan saja kami tak punya?" kata Martha.  literasi dan  numerasi terutama di kelas awal sekolah dasar.
Ketika tidak tahu mesti melakukan apa itulah Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), yakni kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia masuk ke sekolah mereka. SDM Kambaniru 1 menjadi salah satu dari 7 sekolah dampingan di Kecamatan Kambera. Program INOVASI berupaya mengidentifikasi dan mendukung perubahan dalam hal praktik pembelajaran, antara lain mempercepat peningkatan hasil belajar siswa di bidangTetapi para guru khawatir, jangan-jangan program ini justru membawa beban yang baru bagi mereka?
Diakui Martha, ketika  pandemi Covid-19 melanda, terjadi 'learning loss' karena proses belajar-mengajar hampir tak ada sepanjang tahun 2020 hingga awal 2021. Para  siswa diliburkan dan diganti dengan system belajar online. Tetapi persoalannya adalah hanya sedikit siswa yang orang tuanya memiliki gadget.
Para guru, kata Martha,coba menyiasatinya dengan melakukan kunjungan rumah, tapi tidak semua anak bisa dijangkau karena jarak yang berjauhan. Pada sis lain, para siswa yang belajar di rumah tidak mendapatkan pengawasan yang memadai dari orang tua mereka.
"Banyak yang dibiarkan  bermain pada saat jam belajar. Hasilnya adalah, ada siswa yang mula-mula sudah bisa mengeja dan merangkai huruf,  tetapi setelah masuk sekolah lagi kemampuan itu sudah hilang. Siswa di kelas 1 SD yang saya ajar misalnya hampir semuanya sudah tidak bisa merangkai huruf menjadi suku kata lagi," terang Martha.
Asesmen Diagnostik
Program INOVASI menurut Martha mengajari mereka hal yang paling mendasar, yakni cara memahami kondisi siswa yang menjadi tujuan pembelajaran dengan pendekatan Asesmen Diagnostik.