Mohon tunggu...
Aleksander Mangoting
Aleksander Mangoting Mohon Tunggu... Pendamping masyarakat

Sangat menyenangkan hidup dengan masyarakat kurang beruntung.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tongkonan beratap batu alam di Rembon Tana Toraja, satu satunya Tongkonan beratap batu di Toraja

28 Juli 2025   18:23 Diperbarui: 29 Juli 2025   06:46 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tongkonan papa batu (Foto : Dokumen Aleksander Mangoting)

Dalam kehidupan orang Toraja, salah satu yang menjadi simbol yang cukup dikenal adalah rumah adat masyarakat suku Toraja Provinsi Sulawesi Selatan adalah arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan estetika struktur dan konstruksinya yang cukup memukau. Pembangunannya lewat musyawarah dari segenap rumpun keluarga yang merupakan keturunan dari yang akan dibuatkan rumahnya. Daerah Tallu Lembangna (Sangalla, Makaler dan Mengkedek) sebuah rumah khas Toraja baru disebut Tongkonan kalau sudah ada minimal tujuh turunan dari yang akan dibuatkan rumah (katakan Ambe' Anu, yang sudah lama meninggal) akan dubatkan Tongkonan, tetapi nanti setelah tujuh lapis keturunannya yang sudah meninggal baru bisa disebut Tongkonan. Itupun sebuah Tongkonan perlu ada fungsi sosial atau kedudukan dalam sebuah kampung atau wilayah adat tertentu.  Kalau mau buat rumah khas Toraja dan belum tujuh turunan yang meninggal, serta tidak punya fungsi sosial atau kedudukan dalam wilayah adat itu, maka rumah itu disebut banua pa'rapuan (rumah rumpun keluarga).

Dalam kehidupan orang Toraja sejak dahulu, membangun Tongkonan itu merupakan sebuah penghormatan kepada leluhur yang sudah lama meninggal dan mempunyai fungsi sosial atau kedudukan dalam sebuah wilayah adat. Jadi setiap wilayah adat, ada struktur atau posisi setiap tongkonan yang ada di dalamnya.

Banyak Tongkonan sekarang ini tidak lagi dijadikan rumah tempat tinggal, tetapi sudah tidak dihuni lagi dikarenakan setiap keluarga yang mendiami Tongkonan pada umumnya telah membangun rumah tinggal sendiri. Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas. Setiap ukiran yang ada mempunyai arti dan makna. Jadi setiap rumah tentu berbeda ukiran yang bisa dipakai (diukir di dimdingnya) begitu juga pula ukir disesuaikan fungsi sosial atau kedudukan sebuah Tongkonan.

Jadi dalam kehidupan orang toraja, lewat fungsi sosial/kedudukan Tongkonan menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Jadi Tongkonan merupakan tempat tinggal juga kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara komunal dan turun temurun oleh keluarga atau marga Suku Tana Toraja. Lewat Tongkonan ini dibangun kekeluargaan bagi semua keturunan Tongkonan tersebut. Itulah sebabnya kalau orang Toraja bertemu, biasa juga menanyakan Tongkonannya dimana. Kalau satu Tongkonan maka akan saling menanyakan silsilah nenek, disitulah ditemukan bahwa saya memanggil kamu apakah tante, om, sepupu, nenek atau kakak, adik, keponan dan sebagainya.

Tongkonan papa batu.

Tongkonan papa Batu adalah nama Tongkonan yang terletak di Lembang Tumakke di kecamatan Rembon Tana Toraja. Rumah tersebut menurut sejarah yang dituturkan secara turun temurun dibangun sekitar tujuh ratus tahun yang lalu oleh seorang bernama Butu Batu.  Ada hal yang sangat menjolok yang membedakan Tongkonan ini dengan rumah Tongkonan lainnya adalah atapnya yang terbuat dari batu andesit dan batu padas membuat tampilannya unik dan megah. Ini adalah satu-satunya Tongkonan yang masih tersisa dengan memakai atap batu. Melihat Kalau kita menghitung tentang tingginya biaya pembangunan untuk material dan konstruksi, hanya orang-orang paling kaya yang dapat membangun rumah unik ini.

Atap Tongkonan Papa Batu yang tidak biasa ini terbuat dari potongan batu berbentuk persegi dengan dua buah lubang di bagian atas, kiri dan kanan, digunakan untuk mengikat ubin pada rangka atap dengan menggunakan tali rotan. Bagian atas atap, tempat bertemunya batu-batu di kanan dan kiri atap, ditutup dengan bambu untuk mencegah air hujan masuk ke dalam bangunan.

Kalau kita menoleh ke belakang bisa kita bayangkan bahwa dahulu orang yang membangun atap ini tidak memiliki peralatan lengkap, seperti alat ukur modern seperti penggaris. Mereka menggunakan tangan orang dewasa untuk menghitung rata-rata lebar setiap batu, yang setara dengan 40cm hingga 50cm, dan panjang 30cm hingga 60cm, dan tebal 5cm hingga 7cm. Setiap bongkahan batu diperkirakan memiliki berat sepuluh (10) kilogram, dan dengan jumlah batu pada atap berjumlah sekitar 1000 buah, maka diperkirakan berat keseluruhan atap tersebut adalah sekitar sepuluh (10) ton.

Badan bangunan dari rumah Tongkonan ini sama dengan Tongkonan lainnya, badan Papa Batu Tumakke terbuat dari kayu kemudian diukir dengan berbagai corak tradisional sesuai Aluk Todolo sesuai kedudukan Tongkonan tersebut. Pola tersebut antara lain motif matahari, kerbau dan bentuk geometris lainnya.

Banyak orang menganggap bahwa Tongkonan Papa Batu dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki pintunya tanpa izin, selain keturunan dari pendirinya. Tamu atau pengunjung harus mengetuk pintu Tongkonan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum masuk. Namun, yang menarik dari proses mengetuknya adalah Anda harus mengetuk kusen pintu sebanyak tiga kali dengan kepala, bukan dengan tangan. Legenda setempat menyatakan bahwa jika Anda tidak mengetuk kepala sebanyak tiga kali, Anda akan mengalami kecelakaan atau jatuh sakit dalam perjalanan pulang. Belakangan ini Tongkonan Papa Batu ditutup bagi pengunjung yang hendak memasuki ruangannya karena alasan satu dan berbagai hal dari segenap keturunan tongkonan ini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun