Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jika Anda Bukan Tuhan, Bukan Hakim, Janganlah Menghakimi

18 Mei 2020   23:11 Diperbarui: 19 Mei 2020   09:06 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan dunia dengan teknologi informasi sangat cepat. Jika kita menilik perkembangan dunia mulai dari zaman batu ke zaman agraris, pindah ke zaman industri dan tiba di era informasi. Zaman inipun berkembang ke zaman Now, zaman milenial.

Perkembangan ini mengakibatkan perubahan yang cepat dengan hadirnya media sosial yang menggilas media cetak dan elektronik dan dunia semakin dekat dan menyatu dengan kemajuan internet yang pesat. Perubahan ini juga telah merubah perilaku manusia yang ada di media sosial dan dunia maya. Banyak yang tidak siap memasuki media sosial. Dan membuat perilaku yang kurang baik.

Dibandingkan dengan komunikasi bertemu muka, berdiskusi atau saling berdebat, masih ada rasa saling hormat dan etika, walaupun selalu ada kekurangan. Namun berdebat di dunia maya dan media sosial, bisa terjadi saling menghujat, menyampaikan ujaran kebencian dan berbagai hal lainnya yang tidak kita inginkan. Walaupun UU ITE diberlakukan, sudah banyak yang dihukum, namun perilaku masih banyak yang tidak baik.

Salah satu dari sikap yang tidak baik yang telah menjadi perilaku yang terbiasa di media sosial dan dunia maya adalah terlalu cepat menilai orang dan menghakimi. Menuduh, menghujat, menyimpulkan dengan salah, lalu menganggap orang salah, menilai tidak baik dan bahkan sampai menjelek-jelekkan orang lain. Membuat hoaks dan membagikannya, padahal berita hoaks tersebut menyangkut nama baik seseorang.

Menghakimi menjadi sebuah sikap yang biasa dilakukan banyak orang. Seakan mereka menganggap dirinya hakim yang bisa menyatakan seseorang benar atau salah. Seakan dia pemegang palu kebenaran yang bisa mengetokkan palunya untuk kebenaran atau kesalahan seseorang.  Apa yang salah disitu? Ya merasa hakim dan bisa menghakimi itu. Kenapa salah?

Seorang mantan Hakim Agung kita yang terkenal di zamannya dari putusan-putusannya dan sikapnya yang jujur, arif dan adil,  Alm H.Bismar Siregar namanya. Ketika menjabat Hakim Agung, beliau satu waktu menyampaikan orasi dalam satu perayaan Dies Natalis sebuah Fakultas Hukum di satu Universitas. Topiknya adalah tentang Integritas Hakim. Beliau menyampaikan orasinya sebagaimana hal-hal sebagai berikut.

"Hakim itu sesungguhnya dan seharusnya adalah  orang tak berdosa. Kenapa? Karena hakim itu adalah wakil Tuhan di dunia ini. Sesungguhnya yang bisa menghakimi dan menghukum manusia hanyalah Tuhan. Namun karena Tuhan tidak bisa hadir di dunia ini, harus ada wakilnya, itulah hakim. Hakim dalam putusannya harus mengawali dengan kata, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia memutuskan perkara harus demi dan untuk keadilan dan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak boleh untuk sahabat, untuk keluarga dan yang lain-lain. Demi keadilan. Tidak boleh berdasarkan perasaan atau pikirannya saja, atau kesukaannya, namun harus berdasar dan bersandar kepada Tuhan. Dia harus yakin dan keyakinannya harus berdasarkan imannya. Makanya hakim, sekali lagi,  seharusnya adalah orang tak berdosa."

Itu sebagian dari kutipan orasi ilmiah beliau. Beliau menjelaskan kenapa menjadi hakim itu sulit dan harus melalui seleksi ketat dan ada proses pendidikan calon hakim, magang dulu sebagai calon hakim selama dua tahun dan harus berkeliling di daerah. Kenapa hakim harus memakai jubah hitam? Karena dia harus menyembunyikan dirinya di balik jubahnya. Jangan dirinya atau egonya sebagai manusia yang menimbang dan memutuskan perkara itu. Jabatannya dan fungsinya sebagai hakim yang menonjol. Hakim berintegritas. Itulah sebabnya hakim tidak boleh ikut mengadili keluarganya yang menjadi terdakwa. Dia harus mundur. Atau jika ada  konflik kepentingan, hakim tidak boleh ikut mengadilinya.

Dan tahukah anda, hukuman yang paling menyakitkan bagi hakim, jika dia dihukum tidak boleh menyidangkan perkara. Istilahnya di non-palukan. Palunya dicabut, itu berarti dia tidak bisa memukulkan palunya untuk menghakimi dan menghukum orang.

Dalam putusan hakim, semua fakta yang dihadirkan di persidangan menjadi fakta persidangan. Bukti-bukti berupa keterangan, surat, pengakuan terdakwa harus diuji. Apakah Jaksa bisa membuktikan dakwaannya kepada terdakwa dengan menguji unsur-unsur yang harus dipenuhi terhadap pasal yang didakwakan? Kalau jaksa gagal membuktikan dakwaannya kepada terdakwa, maka hakim harus membebaskannya dari segala dakwaan. Kalau terbukti secara sah dan meyakinkan barulah bisa dijatuhi hukuman. Misalnya dijatuhi hukuman di tingkat pertama Pengadilan Negeri, ada banding ke Pengadilan Tinggi dan bisa Kasasi ke Mahkamah Agung. Terhadap putusan Kasasi bisa dilakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). Setelah semua  upaya hukum berakhir, putusan itu dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, barulah si terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

Kenapa hanya menyatakan bersalah atau tidak bersalah sedemikian panjang proses hukumnya yang bisa sampai tiga atau empat tahun, bahkan bisa lebih? Akibat putusan salah atau tidak salah itu akan membawa resiko bagi seseorang yang didakwakan. Kalau dia bersalah, maka hukuman akan dijalaninya. Kebebasannya dirampas dan dia dihukum. Kalau dia tidak bersalah, maka dia harus dibebaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun