Sungai-sungai keruh akibat merkuri dan sianida.
Keanekaragaman hayati di Kawasan Ekosistem Leuser terancam: harimau, gajah, badak, dan orangutan Sumatra.
Kerusakan ini nyata. Air bersih hilang, banjir bandang sering terjadi, debit sungai turun hingga 40%. Namun, di tengah semua itu, Gubernur Aceh justru memilih jalur tegas, bukan pura-pura tidak tahu.
Mengapa Kaltim Perlu Belajar
Kalimantan Timur adalah salah satu wilayah paling kaya tambang di Indonesia. Sayangnya, tambang di sana lebih sering dikelola secara brutal, bahkan liar. Ketika saya di Samarinda, masyarakat justru bangga dengan istilah "tambang koridor". Di balik itu, sungai keruh, sawah merana, dan udara berdebu.
Kaltim pernah jadi paru-paru dunia, tapi kini paru-paru itu penuh lubang tambang. Ironis, ketika Ibu Kota Negara (IKN) dipindahkan ke sana dengan janji "hijau berkelanjutan", di belakang layar justru hutan-hutan digerus tambang tanpa kendali.
Ketegasan yang dilakukan Gubernur Aceh seharusnya jadi cermin. Menghentikan tambang ilegal bukan sekadar soal hukum, tapi soal keberlanjutan hidup. Bukan hanya generasi sekarang, tapi juga anak cucu. Kalau Aceh bisa dengan segala tantangan politiknya, mengapa Kaltim tidak?
Jalan ke Depan: Belajar Tegas dan Bijak
Apa yang dilakukan Gubernur Aceh bukan hanya ancaman kosong. Ia memerintahkan penertiban, penataan, hingga rencana memberikan jalur legal bagi tambang rakyat lewat koperasi desa. Jadi, ada keseimbangan: melindungi lingkungan sekaligus memberi ruang ekonomi bagi masyarakat kecil.
Inilah yang hilang di Kaltim. Pemerintah daerah seolah lebih nyaman duduk bersama pengusaha besar, sementara rakyat kecil hanya jadi penonton. Tidak ada aturan jelas untuk tambang rakyat, sehingga mereka dibiarkan berjalan liar tanpa perlindungan hukum.
Kalau Kaltim mau berubah, Gubernurnya harus belajar dari Aceh: