Pada suatu hari di Kabupaten tetangga saya , Kalimantan Tengah, terdapat seorang guru SD perempuan ,yang mengajarnya lebih sering dengan cara didikte  dan mengakhiri kalimatnya dengan menyebut "noktah"ke murid-muridnya. Entah apa alasannya , awalnya tidak ada yang tahu ,tapi akhirnya ketahuan juga.
" Anak-anak agar mempersiapkan buku tulisnya,karena pelajaran  sejarah  hari ini akan ibu diktekan. "Demikian kata Ibu guru sejarah kepada murid-muridnya.
"Siap bu....guruuuu!"Jawab murid-muridnya serempak.
"Pangeran Hasanuddin adalah berasal dari Makassar noktah. Sedangkan pangeran Antasari merupakan putra dari Banjarmasin noktah."Kata Ibu sejarah kepada murid-muridnya dengan suara lantangnya.
Semua murid-muridnya menulis yang didiktekan, tidak ada yang salah,kecuali pada awal-awal Ibu sejarah itu masuk kelas. Karena pada saat itu ada juga dari mereka yang wawasan atau perbendaharaan katanya belum luas. Yah,sekitar empat- lima oranglah .
Kesalahannya waktu itu adalah ketika Ibu guru sejarah mendikte sampai pada akhir kalimat menyebut"noktah",beberapa siswa tetap menulisnya dengan"noktah",seharusnya cukup ditulis tanda baca titik (.)
"Noktah" kan artinya juga  "titik".
Lho, kenapa Ibu sejarah itu bila ingin mengakhiri kalimat selalu menyebut "noktah",kenapa tidak dengan "titik" saja,yang sudah umum dilakukan?
Ternyata setelah menjadi bahan perbincangan murid-murid,ada salah seorang dari sekian murid itu yang jeli dan dapat membuka tabir misteri tersebut( misteri nih yee). Nama murid itu adalah Jauji.
"Tahukah kalian kenapa Ibu sejarah kita itu setiap mengakhiri kalimat dengan menyebut'noktah ',bukan 'titik'? Itu karena Ibu sejarah tidak mau menyebut nama sendiri. Â Namanya 'kan 'Titik Sundari',makanya dia lebih suka menyebut 'noktah' daripada 'titik'."Demikian kata Jauji kepada kawan-kawannya sesama siswa dengan panjang lebar.
Takut ada yang meledikin kali.