Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

7 Alasan Mengapa Kita Tidak Menjadi Pahlawan

10 November 2015   14:31 Diperbarui: 28 Agustus 2017   11:58 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari brettpinegar.com

Pahlawan, entah apa definisinya sekarang. Saya hanya tahu, pahlawan adalah seorang pemberani yang mengupayakan segala kemampuannya untuk membela kepentingan (yang biasanya) jauh dari kepentingan pribadinya. Pahlawan seringkali dimaknakan sebagai subjek hal-hal yang berhubungan dengan pergerakan, perjuangan dan atau minimal inspirasi. Pahlawan adalah seorang jujur, langsung dan terbuka.

Pertanyaannya adalah bisakah kita menjadi pahlawan? Minimal pahlawan untuk lingkungan terkecil dalam keluarga kita. Sebagai anak, sebagai orangtua, suami, istri atau lainnya. Jika masih apes, ya minimal pahlawan bagi diri sendiri lah. Interpretasi menghasilkan persepsi, inilah yang menuntun kita pada perilaku kita. Sayangnya seringkali persepsi kita tidak pada tempatnya. Seringkali kita memilih jalan berliku untuk mengungkapkan keinginan kita. Dan seringkali kita menjadi seorang yang agresif.

Kebuntuan masalah, frustrasi, tertekan dan masih banyak lagi masalah interaksi antar manusia berpotensi mengancam kita mengembangkan perilaku negatif. Persepsi individu tentang bagaimana pengakuan orang lain atas haknya dan bagaimana individu mengemban tanggung jawab menjalankan kewajiban seringkali menjadi pangkal masalah hubungan sosial. Tekhnologi komunikasi dalam hal ini menjadi alternatif manusia modern untuk menyelesaikan masalahnya, namun seringkali keliru.

Penegasan Polri beberapa hari yang lalu tentang ancaman hukuman bagi penebar kebencian dan fitnah menjadi bukti bahwa tekhnologi digunakan sedemikian rupa untuk mentransformasikan perilaku disfungsional seperti mengejek, menghina, menebar kebencian, kemarahan dan fitnah.[caption caption="ilustrasi: bersembunyi dan menyembunyikan motif"]
[/caption]

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita mengembangkan minat bersembunyi ketika marah kepada orang lain? Seringkali kita marah kepada seseorang menggunakan media sosial, padahal tanpa kita sadari media sosial bergerak begitu cepat dan terus memproduksi informasi sesuai persepsi pemirsanya.

Berikut adalah mengapa kita lebih memilih menggunakan topeng (media) ketika kita hendak mengungkapkan emosi negatif seperti marah, kecewa, benci dan lainnya.

  1. Kemarahan seringkali tidak dianggap normal

Pada dasarnya, kemarahan adalah normal. Tanpa emosi marah, manusia tidak akan sempurna mengingat marah merupakan komponen emosi paling dasar setiap manusia. Pada kenyataannya kita semua pernah marah. Namun pada sisi lain, kita selalu dijejali nasihat bahwa kemarahan adalah hal yang buruk, tidak elok, dan sebagian perilaku setan.

Bombardir nasihat terkait perilaku marah memaksa kita mengubur dalam-dalam ekspresi kemarahan dalam tahapan perkembangan emosional kita sejak kecil, dalam bahasa psikoanalisa disebut represi. Sejak saat itulah kita terbiasa menyembunyikan salah satu emosi dasar kita dan hanya mengafirmasi emosi yang dapat diterima etika sosial saja.  

  1. Permusuhan terselubung lebih diterima sosial

Ketika seseorang belajar bahwa mereka tidak bisa mengekspresikan kemarahan secara terbuka, jujur, dan langsung dalam hubungan, emosi marah kenyataannya tidak pergi begitu pula. Sebaliknya, kemarahan mengendap dalam ranah ketidaksadaran kita. Pilihannya kemudian hanya dua, tetap memendamnya atau mengeluarkan. Kemungkinan untuk menumpuk emosi marah terus menerus hampir tidak mungkin bagi setiap manusia. Kompensasi penumpukan emosi negatif jauh lebih menakutkan bagi seseorang, seperti depresi dan bunuh diri.

Pilihannya kemudian hanya tersisa mengeluarkannya, namun harus sesuai dengan standar sosial. Inilah mengapa banyak dari kita belajar untuk mengungkapkan hal itu dalam alternatif, rahasia, terselubung dan menggunakan jalan berkelok melalui perilaku agresif pasif. Kita akan merasa lebih aman ketika mengungkapkan kemarahan kita melalui orang lain dengan berbagai cara, mulai humor, kritik, sampai permusuhan. Sekali lagi melewati orang lain, bukan subjek kemarahan kita.

  1. Susah menjadi tegas

Pendidikan formal dengan segala aturan dan formalitasnya seringkali tidak memberikan opsi pada seseorang untuk mengembangkan ketrampilan sosial. Prosedur macam pengantar, pendahuluan, dasar teori, metodologi dan analisa data seringkali menegrdilkan kemampuan interpersonal seperti ketegasan, manajemen emosi dan bagaimana membangun hubungan. Memang tidak semua, namun sedikit banyak prosedur kaku pendidikan berimplikasi kurang baik bagi model-model kepribadian tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun