"Astaghfirullah...masok pean gak tau pak?" Respon keterkejutan yang saya kira wajar ketika mengetahui bahwa saya, seorang ayah yang tidak mengetahui bahwa hari ini adalah pengumuman penerimaan sekolah dasar (SD) tempat anak saya mendaftar. Karena jawaban yang saya lontarkan telah saya modifikasi, sayapun dengan santai menerima respon tersebut.
Jika ingin tau keriuhan yang levelnya melebihi kontestasi Pilpres 2019, silahkan tengok keriuhan ibu-ibu (terutama ibu-ibu muda) di perkotaan memilih sekolah untuk anak-anak mereka pada jenjang sekolah dasar.Â
Salah satu sekolah dasar di Malang bahkan menyediakan formulir pendaftaran sampai 1200 peserta, padahal yang diterima hanya sekitar 200an. Apa yang terjadi kemudian? Anda pasti mengeryitkan dahi ketika melihat proses seleksinya, apa standar yang digunakan untuk memilih anak sebanyak itu.Â
Saya sampai membayangkan andai saya mengikutinya sekarang, saya rasa saya mungkin saja tidak lulus. Hafalan surat pendeknya saja hampir keseluruhan juz amma, dengan tenggat waktu. Belum lagi tes yang lain.
Sudah hampir setahun silam, saat anak pertama saya memasuki program taman kanak-kanak akhir (TK B) seringkali istri bercerita betapa kuatnya ghirah ibu-ibu untuk mempersiapkan anak-anak mereka masuk SD. 'salah satu jihat' begitu joke mereka menyebut usaha maksimal mendukung anak-anaknya masuk sekolah favorit. Saya menduga itu hanyalah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) entah sebuah proyeksi atau rasionalisasi.
Tidak percaya? Sekarang saya tanya, adakah anak-anak usia 7 tahunan memiliki keinginan untuk masuk sekolah A atau sekolah B? Tidak kan? Kalau sudah begitu, siapa yang kepingin? Inilah bentuk proyeksi, mengalamatkan keinginan mereka (ibu-ibu) kepada anaknya.Â
Atau begini deh, label favorit dan sebagainya itu pakai data dari mana? Emangnya sudah ada pemeringkatan dari dinas pendidikan pada level SD? Atau adakah bukti konkrit tentang kualitas alumni mereka ketika dewasa?Â
Kalaupun ada, apakah benar itu semata karena mereka sekolah di SD tersebut? Pusing kan? Kalau pusing untuk menjawabnya, berarti semua itu hanya alasan saja. Inilah rasionalisasi, membuat alasan-alasan baik untuk menutupi udang dalam selimut haha.
Semangat ibu-ibu, derita guru TK
Suatu ketika, salah satu kepala sekolah lembaga PAUD curhat ke saya. Bahwa tugasnya hari ini bertambah berat. Anehnya, bukan lantaran model anak-anak zaman sekarang berubah dan lebih susah untuk dikondisikan, tapi lebih pada melayani ibu-ibu muda yang semakin rewel dan banyak tuntutan ke lembaga.Â