Dan yang paling mengkhawatirkan—seringkali luput dari perhatian— adalah pengabaian terhadap AD/ART dan platform kebijakan organisasi. Padahal, dua dokumen ini adalah warisan ideologis. Ia seharusnya menjadi kompas. Tapi dalam sistem patron-klien, kompas itu disisihkan. Patron menjadi poros. Organisasi kehilangan arah.
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Sejarah politik Indonesia sudah menunjukkan: partai-partai besar bisa retak karena perebutan kekuasaan antara patron dan klien-klien yang merasa "berhak". Begitu pula dalam organisasi mahasiswa, konflik horisontal seringkali bukan karena visi, tapi karena kekecewaan atas sistem kaderisasi yang manipulatif.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Organisasi kader harus berani mereformasi dirinya. Tapi perubahan tidak bisa hanya terjadi di permukaan—ia harus menyentuh akar.
Pertama, sistem kaderisasi harus dibangun di atas tiga pilar: kompetensi, integritas, dan etika kepemimpinan. Pelatihan bukan hanya soal teknis, tapi juga pembentukan karakter dan visi jangka panjang.
Kedua, penilaian terhadap kader harus bersifat terbuka dan terukur. Tidak boleh ada ruang bagi penilaian yang berdasarkan “kedekatan” . Skema penilaian harus jelas dan diketahui semua pihak. tidak boleh ada beda rasa soal Anak siapa, Binaan Siapa.
Dan terakhir —yang paling penting— AD/ART serta platform organisasi harus dipulihkan marwahnya . Ia harus kembali menjadi landasan utama dalam setiap keputusan strategis. Jika perlu, buat mekanisme pengawasan internal yang ketat untuk menjamin setiap keputusan sejalan dengan prinsip dasar organisasi.
Ketiga, organisasi harus mulai membudayakan ruang kritik yang aman. Kritik bukan tanda pengkhianatan, tapi cinta terhadap organisasi. Pemimpin yang baik adalah mereka yang membuka telinga, bukan hanya membuka jalan untuk loyalisnya.
Hubungan patron-klien memang tidak selalu terlihat. Tapi jejaknya ada. Dalam keputusan-keputusan yang aneh. Dalam kader-kader hebat yang tak pernah naik. Dalam ruang diskusi yang sunyi karena ketakutan.
Ia diam. Tapi mematikan.
Itulah sebabnya ia disebut “ silent killer ”.