Mohon tunggu...
Akbarmawlana
Akbarmawlana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menerapkan ruang publik agar bermanfaat

Penulis merupakan mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dominasi Budaya Industri Saat Lebaran Melemahkan Physical Distancing

23 Mei 2020   10:15 Diperbarui: 23 Mei 2020   10:12 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kasus penyebaran covid-19 di negara Indonesia masih terus berkembang keberadaannya. Banyak kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah untuk menekan laju penyakit covid-19 ini. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan menyerukan istilah pyhsical distancing. Physical distancing merupakan seruan untuk menjaga jarak aman antara individu satu dengan lainnya. Tujuan dari kebijakan tersebut tidak lain sebagai upaya untuk memperkecil resiko penyebaran covid-19, karena penyakit ini tersebar ketika saling bersentuhan secara fisik.

Namun, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan ekspektasi dalam perencanaan. Alasannya adalah masih banyak masyarakat yang terjangkit virus covid-19 ini, dan angka kematian masih terus berjalan tanpa ada hentinya. Realitas yang terjadi sekarang banyak masyarakat pergi ke luar rumah tanpa mematuhi protokol keamanan yang suah ditentukan. 

Akibat dari adanya fenomena tersebut membuat Indonesia mengalami lonjakan kasus covid-19 secara signifikan pada tanggal 21 Mei 2020. Dilansir dari media Pikiran Rakyat com melalui juru bicara pemerintah untuk penanganan kasus corona mengkonfirmasi bahwa korban positif sudah menginjak angka 973 orang bahkan provinsi Jawa Timur menjadi pusat penyebaran paling tinggi (Nurfajriani, 2020).

Apabila menyelisik mengenai perkembangan pasien covid-19 yang semakin melonjak dapat dilihat masyarakat berbondong – bondong ke tempat perbelanjaan. Tujuan mereka pergi ke tempat perbelanjaan dapat diprediksi untuk membeli barang menjelang hari raya idul fitri. Hal ini bisa dilihat dari membludaknya masyarakat di pusat perbelanjaan saat menjelang ibadah puasa akan berakhir. Umumnya pusat perbelanjaan yang ramai diserbu oleh masyarakat adalah pasar dan mall. 

Kedua tempat itu yang sebelumnya sepi pengunjung seketika berubah menjadi primadona kebanyakan orang di tengah pandemi covid-19. Dikutip dari kompas.com bahwa terjadi fenomena penumpukan pembeli di daerah pasar tanah abang, dan perbelanjaan Roxy Mall di Jember Jawa Timur (Bramasta, 2020).

Berkembangnya jumlah pengunjung di pusat perbelanjaan merupakan salah satu peristiwa yang membuat perasaan menjadi ngilu melihatnya dengan saling berdesakan, dan bahkan tidak memakai masker sebagai pelindung diri. Keadaan itu sudah melunturkan penerapan kebijakan physical distancing oleh masyarakat. Kondisi penumpukan masyarakat di tempat perbelanjaan bisa dilihat bahwa mereka saling berlomba untuk memperoleh barang untuk dipakai di hari raya. 

Penyebabnya dapat diakibatkan dari adanya proses industri yang sudah merangsek masuk dalam konsep lebaran di era modern. Konsep lebaran sudah termodifikasi dari adanya kepentingan sepihak dari kalangan pelaksana industri. Nilai – nilai tersebut dapat terlihat dari adanya penggunaan semboyan seperti “tidak memakai baju baru namanya bukan merayakan hari raya”. 

Posisi dari penggunaan bahasa dalam semboyan tersebut sudah memberikan suntikan sugesti pada pemikiran masyarakat bahwa pakain baru merupakan syarat utama yang harus ada saat lebaran. Dalam dunia industri maju terdapat penerapan nilai prestasi (Suseno, 2013). Nilai prestasi ini jika dianalisis dalam kasus meningkatnya angka minat pembeli di perbelanjaan disebabkan dari adanya individu untuk meraih nilai prestasi ketika hari lebaran. Prestasi ini dilihat dari adanya nuansa barang baru saat lebaran demi mendapatkan suatu prestise.

Masyarakat menjadi korban dari sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan secara halus untuk saling bersaing di belakang kehidupan sosial. Terjadinya persaingan tersebut membentuk sebuah kontradiksi sampingan sehingga terjadi suatu persaingan antara sesama pemegang industri (Suseno, 2013). 

Tindakan untuk memenangkan persaingan maka sistem industri dapat membius masyarakat dengan memunculkan konsep – konsep irasional jika dilihat lebih secara mendasar. Hasil dari keberadaan kontradiksi ini masyarakat terus – menerus menjadi korban dari objek keuntungan semata, tetapi masyarakat tidak dapat berpikir secara rasional dalam melakukan tindakannya.

Adanya nilai prestasi dan kontradiksi sampingan di industri maju menurut Marcuse membentuk masyarakat berdimensi satu. Masyarakat berdimensi satu ini berakibat bahwa perilaku seseorang selalu mengalami kontrol dari sistem industri. Kunci utama untuk melihat peristiwa bahwa masyarakat tidak bisa membedakan antara kebutuhan benar dan palsu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun