Dunia pendidikan di Indonesia kembali diwarnai oleh perdebatan seputar evaluasi kelulusan siswa. Setelah bertahun-tahun Ujian Nasional (UN) menjadi momok yang menakutkan kemudian kini akan hadir Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai alternatif baru. Sekilas, kehadiran TKA memberikan secercah harapan bagi sistem evaluasi yang lebih manusiawi. Namun, dibalik itu muncul pertanyaan. Apakah TKA benar-benar membawa perubahan atau justru sekadar reinkarnasi UN dalam bentuk yang lebih diperhalus?
Dulu, UN dianggap sebagai penentu mutlak kelulusan siswa yang menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi mereka. Ketakutan akan nilai rendah, kekhawatiran menghadapi soal-soal sulit, hingga beban ekspektasi orangtua dan guru, semuanya menjadi beban mental yang tidak ringan.Â
Kini, dengan TKA ada sedikit kejelasan bahwa siswa tetap perlu melewati suatu bentuk ujian akademik sebelum melangkah ke jenjang berikutnya. Tetapi yang membingungkan adalah TKA disebut-sebut tidak bersifat wajib dan bukan menjadi standar kelulusan.Â
Kelulusan siswa tetap ditentukan oleh satuan pendidikan. Jika demikian, lalu apa urgensi dari TKA? Apakah hanya sekadar uji coba sistem baru tanpa dampak signifikan?
Pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya menilai siswa dari angka di atas kertas tetapi juga dari kompetensi nyata yang mereka miliki. Jika TKA hadir untuk mengukur pemahaman siswa dengan cara yang lebih fleksibel maka sistem ini patut diapresiasi.Â
Namun, jika keberadaannya justru membingungkan guru, siswa, dan orangtua karena ketidakjelasan fungsinya dalam menentukan kelulusan maka TKA bisa jadi hanya menjadi formalitas belaka.
Yang lebih menarik adalah bagaimana sekolah akan merespons kembalinya ujian berbasis nasional ini. Mau tidak mau, atmosfer persiapan ujian akan kembali terasa.Â
Guru harus menyusun strategi pembelajaran yang efektif, siswa harus kembali menghadapi latihan-latihan soal, dan orangtua mungkin harus mempertimbangkan kembali les tambahan untuk anak-anak mereka. Jika tidak ada kebijakan yang jelas, bukan tidak mungkin tekanan akademik yang dulu melekat pada UN akan kembali mengintai.
Namun, daripada terjebak dalam ketakutan dalam bayang-bayang UN maka ada baiknya kita melihat peluang di balik TKA. Jika dirancang dengan sistem yang adil, adaptif, dan tidak sekadar menguji hafalan, TKA bisa menjadi alat ukur kompetensi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.Â
Dengan begitu, TKA bukan lagi sekadar bayang-bayang UN melainkan gerbang menuju sistem evaluasi pendidikan yang lebih baik.
Pendidikan harus terus berkembang bukan sekadar berputar dalam siklus ujian yang sama dengan nama yang berbeda. Jika TKA ingin menjadi solusi maka kebijakan yang mengiringinya harus jelas, transparan, dan berpihak pada perkembangan siswa secara nyata.Â