Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Muda Bisa Apa?

2 Desember 2020   15:15 Diperbarui: 2 Desember 2020   15:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/thailand-menikmati-park-1822451/

Ada sebuah kalimat yang berbunyi, "Generasi muda adalah ujung tombak sebuah bangsa" memang ada benarnya. Kenapa begitu? Karena di zaman sekarang generasi muda menjadi sebuah model percontohan. Apapun yang mereka lakukan akan menjadi percontohan untuk usia di bawah atau di atasnya. Jadi, peran mereka menentukan bibit-bibit yang akan lahir di masa depan. Terlebih lagi di era pandemi yang entah kapan berakhir ini.


Contohnya sangat banyak. Kita ambil contoh di dunia mode. Generasi muda sekarang sangat memperhatikan mode. Sampai-sampai banyak yang meniru gaya berpakaian mereka dari kalangan anak-anak sampai orang tua.


Contoh lain, di dunia media sosial. Kebiasaan generasi muda yang suka mengambil foto sebelum memakan hidangan yang tersaji. Untuk kemudian dibagikan pada akun media sosial yang dipunya. Hal ini juga ditiru oleh para orang tua. Mereka ikut-ikutan meski hanya sekedar untuk mengisi galeri atau bahkan ada juga orang tua yang melakukan hal sama. Memposting di akun media sosial yang dipunya (efek zaman dulu belum ada gadget, begitulah kiranya).


Dari kedua contoh di atas menunjukkan, generasi muda ikut andil dalam setiap perubahan untuk orang-orang disekitarnya. Di era pandemi ini, mereka -generasi muda- sangat berpotensi menaikkan atau menurunkan angka positif Covid-19. Ya, karena mereka menjadi model percontohan itu tadi.


Banyak laporan berita di televisi, masih banyak orang yang tidak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Keluar rumah tidak memakai masker, berkerumun di suatu tempat bahkan saat ada pembagian sembako atau bantuan dari pemerintah, mereka tidak memperhatikan jarak aman. Entah alasan apa yang membuat mereka enggan memakai masker dan tidak mematuhi protokol kesehatan.


Kalau di daerahku, kebanyakan dari mereka juga enggan memakai masker dan tidak menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya. Alasan mereka tidak memakai masker juga bervariasi, ada yang tidak biasa jadi lupa, ada yang pengap kalau lama-lama memakai masker, ada yang alasannya sangat tidak bisa ditolerir, karena tidak modis katanya. Apa iya mereka harus reaktif dulu baru mau pakai masker? Atau haruskah ada anggota keluarga yang positif Covid-19 dulu baru mereka mau mematuhi protokol kesehatan? Eh, di lingkungan rumahku juga gitu. Kalau ada yang reaktif atau bahkan positif Covid-19 baru mau memakai masker. Tapi kalau sudah beberapa minggu berlalu, mereka enggan memakai masker lagi. Memang menggelikan. 


Di lain sisi, banyak masyarakat berspekulasi tentang penanganan pemerintah terkait pandemi ini. Banyak yang mempertanyakan, mengapa angka positif Covid-19 semakin tinggi? Bahkan melebihi negara asal virus ini. Apa sistem penanganannya salah? Belum tentu. Di tempatku, perbincangan tentang pandemi ini selalu hangat. Ada yang pro, ada yang kontra. Cuma, kalau membicarakan perihal kesadaran, terutama di lingkungan rumahku, tidak usah ditanya, banyak yang masih belum sadar.


Di daerahku menjadi salah satu kabupaten yang menyumbangkan angka positif Covid-19. Beberapa bulan lalu ada kasus karena menyepelekan protokol kesehatan, enggak mau pake masker. Jadi singkat cerita begini, ada pimpinan pondok pesantren di daerahku yang baru pulang dari luar kota. Beliau enggan memakai masker, kata beliau matinya itu sudah menjadi takdir Allah. Iya, memang takdir mati itu tidak ada yang tahu. Tapi mbok ya mikir orang lain gitu lho. Akhirnya dia dinyatakan positif beserta keluarga dan santri-santrinya. Inilah yang menjadi klaster baru yang mengubah status daerahku dari zona hijau menjadi zona merah.

Tidak cukup sampai di situ, banyak tenaga medis di RSUD daerahku yang positif Covid-19. Ini juga menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Para tenaga medis ini terpapar Covid-19 usai berkontak erat dengan pasien Covid-19 klaster baru pondok pesantren di daerahku. Seperti yang disampaikan dalam berita di televisi salah satu stasiun televisi swasta. Gemesnya lagi, sudah tahu ada klaster baru Covid-19, tetep saja ada yang tidak sadar akan bahayanya virus yang berasal dari Cina ini.

Seperti halnya di lingkungan rumahku, ada seorang warga yang menyediakan layanan Wi-Fi untuk umum. Setiap hari apalagi kalau malam, beuh rame betul. Tahu sendiri kan sekarang pembelajaran sekolah dan kuliah lewat daring. Ya tidak masalah sebenarnya, keadaan yang menuntut mereka membutuhkan jaringan sinyal yang memadai. Tapi ya tetap harus mematuhi protokol kesehatan bukan? Tidak seenaknya sendiri.


Baru-baru ini, salah satu pasar di daerahku, beberapa pedagang terpapar Covid-19. Akhirnya, pasar itu ditutup sementara waktu. Tapi, melihat kondisi di daerahku yang seperti itu, mereka tetap saja enggan mematuhi protokol kesehatan. Tidak memakai masker, jaga jarak juga tidak. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda. Sangat disayangkan kalau mereka tidak peka terhadap keadaan yang melanda negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun