Di sebuah ruang rapat terbuka, delapan orang duduk mengelilingi meja panjang. Seorang komisaris boomer dengan rambut memutih rapi membuka agenda kulit lusuh, lebih nyaman menulis tangan ketimbang menatap layar. Di sebelahnya, seorang direktur Gen X menyiapkan map tebal dan bolpoin, wajah serius penuh perhitungan. Seorang manajer milenial sibuk mengatur slide presentasi di laptop sambil menyeruput kopi. Dua staf muda Gen Z bergerak cepat, satu mengetik di tablet, satu lagi menyiapkan polling online lewat ponsel. Tak jauh dari mereka, seorang anak magang Gen Alpha duduk dengan headphone menggantung di lehernya, cekatan memindahkan data ke layar interaktif. Seorang konsultan eksternal dari generasi Xennial (mereka yang lahir di batas antara Gen X dan milenial) membuka laptop tipis sambil mencoba menjembatani diskusi. Di ujung meja, seorang Baby Boomer lain yang sudah semi-pensiun duduk santai, lebih banyak mengamati, sesekali memberi komentar bijak berdasarkan pengalamannya puluhan tahun.
Rapat belum resmi dimulai, tapi perbedaan generasi sudah jelas. Boomer percaya pada rapat panjang dengan catatan detail, Gen X terbiasa strategi realistis, milenial mengandalkan data global, Gen Z mendorong komunikasi singkat penuh visual, Gen Alpha luwes memainkan teknologi interaktif, sementara Xennial berada di tengah, mencoba jadi penerjemah antar generasi. Satu ruangan, delapan orang, delapan cara pandang, semuanya hasil tempaan zaman.
Dinamika zaman memang membentuk mindset. Boomer tumbuh di era stabilitas dan disiplin, Gen X besar di tengah krisis dan efisiensi, Xennial belajar berpindah dari analog ke digital, milenial terbiasa multitasking di era globalisasi, Gen Z lahir dalam pelukan algoritma, dan Gen Alpha bahkan sejak kecil sudah menyatu dengan layar sentuh serta kecerdasan buatan. Tanpa peta generasi, mudah saja salah tafsir: boomer dianggap kuno, Gen X kaku, milenial banyak gaya, Gen Z malas, Gen Alpha kecanduan gawai, Xennial serba tanggung. Padahal semua hanyalah cermin dari masa yang mereka jalani.
Fenomena ini juga diakui dunia. World Economic Forum 2025 menulis bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, lima generasi bekerja bersama dalam ekosistem global: boomer, Gen X, milenial, Gen Z, dan Gen Alpha. Perbedaan ini bukan sekadar selera, melainkan jejak teknologi yang menempel di setiap era: boomer dengan arsip kertas, Gen X dengan memo dan mesin ketik, milenial dengan email dan PowerPoint, Gen Z dengan notifikasi instan, dan Gen Alpha dengan AI serta dunia imersif AR/VR. Kalau perusahaan mau membaca peta generasi, energi ini bisa disatukan: kebijaksanaan boomer, kehati-hatian Gen X, fleksibilitas Xennial, kelincahan milenial, kreativitas Gen Z, dan kecepatan adaptasi Gen Alpha bisa menjadi kombinasi yang saling melengkapi.
Di ranah politik, jurang generasi juga tampak jelas. Pemilu 2024 menjadi contoh paling dekat. Gen Z mencerna isu politik lewat aplikasi video pendek lengkap dengan teks dan humor visual, sementara generasi tua masih setia menonton debat resmi di televisi. Ipsos Generations Report 2024 menemukan bahwa Gen Z di Indonesia lebih kritis terhadap isu lingkungan dan kesehatan mental, sedangkan generasi yang lebih tua masih menitikberatkan pada stabilitas ekonomi. Sementara itu, studi “The GenAI Generation” (2025) yang dirilis di media publikasi ilmiah menggambarkan mahasiswa saat ini sebagai generasi pertama yang benar-benar dibentuk oleh kecerdasan buatan generatif. Mereka penuh antusiasme menghadapi teknologi baru, namun juga cemas soal etika dan masa depan pekerjaan. Bagi politisi yang cermat membaca peta generasi, pesan politik bisa dikemas dalam dua wajah: pidato formal untuk generasi mapan, dan konten singkat penuh humor untuk generasi muda.
Dalam lingkup keluarga, peta generasi menyingkap jarak yang sering tak disadari. Orang tua boomer masih memberi nasihat klasik: “Kalau rajin menabung, kamu pasti bisa beli rumah.” Anak milenial hanya bisa tersenyum getir. Badan Pusat Statistik mencatat indeks keterjangkauan rumah di kota besar terus menurun, sementara laporan Bank Dunia menegaskan generasi muda makin sulit memiliki rumah dengan gaji rata-rata. Orang tua dulu membeli rumah ketika harga sebanding dengan penghasilan, anak sekarang menghadapi harga properti yang melambung tak masuk akal. Kalau orang tua membaca peta generasi, nasihat mereka bisa berubah: bukan lagi sekadar menuntut punya rumah, melainkan membimbing anak mengelola keuangan atau berinvestasi pada aset yang lebih relevan di zamannya.
Satu hal penting yang mesti dipahami, peta generasi bukanlah aturan yang bersifat kaku. Ia semacam panduan umum. Sama seperti peta jalan, ia memberi gambaran jalur besar tanpa bisa menebak detail tiap belokan dan bukan memaksa kita berhenti di setiap persimpangan. Panduan ini membantu kita membaca konteks, tanpa harus menempelkan label kaku pada tiap individu.
Peta generasi pada akhirnya menjadi alat praktis yang sangat berguna. Ia memberi kita koordinat untuk memahami dunia kerja, strategi politik, hingga dinamika keluarga. Dengan demikian, perbedaan usia tidak lagi jadi sumber benturan semata, melainkan sumber data untuk membuat keputusan yang lebih cerdas, feasible, dan reliable.
(Ajuskoto)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI