Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Cinta - The Art of Loving

13 April 2021   02:37 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:47 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Freepic/Pexels

Pengalaman terpisah yang menumbuhkan kecemasan; itulah, sesungguhnya, sumber segala kecemasan. Terpisah berarti tak berdaya, tak mampu menggenggam keduniaan – benda-benda dan orang-orang secara aktif; artinya dunia bisa saja menyerbuku tanpa aku bisa membalas. Oleh sebab itu manusia sangat membutuhkan sesuatu yang besar diluar dirinya, sesuatu yang berdaya dan mampu menggenggam dunia, sebagai sandaran atas ketidakpastian hidup.

Keterpisahan juga menimbulkan rasa malu. Perasaan malu dan bersalah ini juga digambarkan dalam kisah-kisah agama abrahimik tentang adam dan hawa. Setelah adam dan hawa memakan buah dari, ‘pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat’ setelah mereka melanggar perintah; setelah kelahiran mereka sebagai insan dunia, mereka merasa malu mengetahui bahwa mereka dalam keadaan telanjang. Adam dan Hawa dipisahkan begitu jauh ketika turun ke bumi, mereka menyadari pula keterpisahan mereka, mereka tetap asing, karena belum belajar mencintai satu sama lain (seperti yang kita tahu bahwa Adam memakan buah khuldi atas rayuan Hawa yang sebelumnya mereka dihasut oleh Iblis dan adam menyalahkan hawa akan hal itu). Kesadaran keterpisahan manusia, tanpa disatukan oleh “cinta” – adalah sumber rasa malu. Pada saat yang sama juga sumber rasa bersalah dan kecemasan.

Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahaannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Rasa cemas akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna karena dunia luar, tempat seseorang terasing itu, juga telah sirna.

Dari segala zaman dan kebudayaannya, kita ditantang untuk memecahkan satu pertanyaan yang sama: pertanyaan tentang bagaimana mengatasi keterpisahan, bagaimana meraih penyatuan, bagaimana melampaui kehidupan individual dan menemukan kesatuan. Dari zaman manusia di gua-gua, manusia nomaden yang menjaga gembalanya, bagi petani di Mesir, pedagang Venisia, prajurit Romawi, para pemuka agama abad pertengahan, samurai jepang, sampai pegawai modern dan buruh pabrik.

Jawaban pertanyaan itu macam-macam bentuknya bisa berbentuk penyembahan hewan, pengorbanan manusia atau penaklukkan militer, bermewah-mewah, penyangkalan asketik, bekerja obsesif, penciptaan artistik, kecintaan pada manusia, dan kecintaan pada Tuhan. Meskipun ada banyak jawaban tentang itu – sejarah manusia banyak mencatatnya – jawaban-jawaban itu tetap tak terhitung dan hanya dapat dijawab oleh manusia yang hidup dalam tiap kebudayaannya yang beragam. Sejarah agama dan filsafat adalah sejarah tentang jawaban-jawaban ini.

Bagaimana menjadi seorang pribadi yang selalu mencintai dan dicintai ? Kebanyakan orang berangapan soal cinta yang terpenting adalah dicintai bukan mencintai. Disini bagi mereka adalah bagaimana dicintai, bagaimana kita pantas untuk dicintai, sering kita dengar istilah klise ‘jodoh itu bagaimana kita, apakah kita pantas untuk dicintai’.

Dalam mengejar tujuan ini dalam buku “ The Art of Loving” dibicarakan biasanya mereka menempuh berbagai cara. Pertama, biasanya dipakai oleh laki-laki adalah dengan menjadi sukses, menjadi dirinya seberkuasa dan sekaya mungkin. Sedangkan perempuan adalah dengan membuat diri mereka semenarik mungkin, dengan cara memaksakan merubah tubuh, pakaian dll.

Cara supaya terlihat menarik yang dipakai oleh laki-laki maupun perempuan adalah dengan bersikap menyenangkan, berbicara menarik, suka menolong, sopan, dan lugu. Cara-cara untuk menjadi orang yang “loveable” sama dengan cara-cara meraih sukses ‘untuk mendapatkan banyak teman dan punya pengaruh dalam masyarakat’. Fakta menjelaskan bagi kebanyakan orang dalam budaya kita bahwa menjadi “loveable” pada dasarnya adalah gabungan popularitas dan “sex appeal”.

Asumsi bahwa persoalan cinta merupakan persoalan obyek, bukan persoalan kemampuan. Kita sering mengira bahwa mencintai itu mudah, tetapi menentukan obyek yang tepat untuk mencintai dan dicintai itu yang sulit.

Ternyata penyebabnya adalah perubahan besar yang terjadi pada abad ke-20 terkait memilih “obyek cinta”. Pada zaman Victoria, seperti banyak kebudayaan tradisional lainnya, cinta bukanlah pengalaman pribadi spontan yang membawa kepada pernikahan. Terdengar seperti dilingkungan kita yang diistilahkan dengan “pacaran”. Sebaliknya, pernikahan diikat oleh persetujuan baik oleh keluarga masing-masing, makelar pernikahan atau tanpa bantuan perantara semacam itu; pernikahan yang diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial dan cinta diharapkan tumbuh setelah menikah – ini yang sedang trend dikalangan anak-anak muda, cinta dibangun setelah menikah – cukup riskan memang jika tak didasari dengan hal-hal fundamental dari satu sama lain. Ini seperti membeli kucing dalam karung dan ditambah lagi yang paling menyebalkan yaitu jika sudah tak cocok maka solusi yang paling pahit dan sering kita dengar yaitu perceraian, begitulah kita lihat fenomena di masyarakat kita.

Pada generasi terakhir, konsep cinta romantis telah diterima hampir seluruh dunia Barat. Di Amerika Serikat, banyak orang mencari “cinta romantis”, mencari pengalaman cinta personal yang harapannya akan membawa kepada pernikahan. Menurut erich fromm konsep baru tentang kebebasan dalam cinta ini jelas memperbesar pentingnya obyek cinta, yang bertentangan dengan fungsi cinta itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun