Dalam dunia profesional yang terus berkembang, Nilai integritas memegang peran penting sebagai dasar kepercayaan publik dan kelangsungan organisasi. Namun, ketika prinsip-prinsip moral dikalahkan oleh kepentingan pribadi, politik kantor, atau tekanan bisnis. siapa yang berani bersuara? Di tengah situasi demikian, hadirnya seorang Whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan, ibarat suara nurani yang menolak tunduk pada penyimpangan moral.
Wistleblower : Suara Kecil, Dampak Besar
Whistleblowing adalah tindakan seseorang yang menginformasikan adanya penyimpangan hukum, etika, atau kebijakan yang terjadi dalam suatu organisasi kepada pihak yang memiliki otoritas. Menurut Near dan Miceli (1985), Whistleblowing merupakan bentuk komunikasi yang disampaikan oleh anggota organisasi kepada pihak yang mampu mengambil tindakan korektif terhadap perilaku menyimpang.Â
Whistleblower umumnya memiliki akses terhadap informasi internal yang tidak diketahui publik. Namun yang paling membedakan mereka adalah motivasi di balik tindakan tersebut bukan keuntungan pribadi melainkan keinginan untuk mempertahankan akuntabilitas dan tanggung jawab moral.
Kode Etik : Antara Prinsip dan Praktik
Hampir setiap organisasi memiliki pedoman etika atau kode perilaku yang tertulis. Namun, sering kali kode etik tersebut hanya menjadi formalitas di atas kertas, tanpa implementasi nyata. Whistleblower hadir sebagai pengingat bahwa kode etik bukan sekedar tulisan saja melainkan mereka hidup dalam tindakan, dan memiliki keberanian untuk menyuarakan ketidakbenaran yang terjadi.
Miceli, Near dan Dworkin (2008) menyatakan bahwa Whistleblowing dapat berfungsi sebagai sistem pengawasan internal yang mendeteksi penyimpangan lebih awal, sehingga organisasi dapat melakukan perbaikan sebelum kerusakan menjadi sistemik. ketika mekanisme internal gagal, whistleblower menjadi garis pertahanan terakhir dalam menjaga prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Resiko Nyata, Perlindungan yang masih lemah
Meski tindakan mereka bertujuan baik, Whistleblower sering menjadi korban perlakuan tidak adil. banyak dari mereka menghadapi intimidasi, diasingkan dari lingkungan kerja, bahkan kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, sistem perlindungan bagi whistleblower masih belum maksimal. Undang - undang No. 13 Tahun 2006 memang mengatur perlindungan saksi dan korban, namun belum secara spesifik mengakomodasi karakteristik pelapor di sektor non-pidana  atau swasta.
Transparency International (2020) mencatat bahwa minimnya perlindungan hukum membuat banyak pelanggaran tetap tersembunyi karena potensi risiko yang harus dihadapi pelapor terlalu besar. tanpa dukungan kebijakan yang kuat, suara kebenaran bisa tenggelam di tengah budaya diam.