Mohon tunggu...
Maya Asmikulo
Maya Asmikulo Mohon Tunggu... Guru - Guru Biasa

Guru Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lampu Lalu Lintas "APILL"

15 Mei 2011   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti biasa, di siang hari Yogyakarta panas, rasanya lebih panas dibanding suhu udara di Penjaringan Jakarta Utara. Semakin terasa panas, ketika Honda Supra yang ku tunggangi harus berhenti karena lampu alias Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas menyala merah.

"Pyuh", ku menggerutu dalam hati merasakan panas terik menembus jacket Levi's bututku.

"hhhmmm wuuuhhh"... "pantas saja panasnya menyengat, jarum panjang di arloji yang melingkar di tangan kiriku menunjuk pada angka 12.30." lanjutku dalam hati sambil meniupkan mulut untuk mengusir gerah.

"Count down Digital display", penghitung mundur yang berfungsi menunjukkan berapa lama seorang pengendara harus berhenti masih menunjukkan angka 250 dari 300 detik. Sepertinya aku paling tidak suka "terjebak" lamp merah di perempatan antara jalan Magelang dan Godean ini, Untung saja aku tidak sedang sakit gigi atau kebelet mau buang air.

"Huhhh", kembali aku menggerutu dalam hati, kenapa dinas perhubungan hanya memasang papan "display" digital, kenapa tidak sekalian memasang televisi besar dengan "sound system" yang ok. Jadi, kalau lampu merah menyala, maka televisi juga ikut menyala menayangkan hiburan gratis bagi para pengguna jalan.

Misalkan, secara otomatis televisi itu menayangkan Soneta Group yang mendendangkan lagu "Santai" atau Rosa yang menyanyikan lagu "Ku Menunggu".

Tentunya, lagu atau hiburan yang diputar di lampu merah itu bukan sembarang lagu. Lagu "santai" dari Bang Roma atau "Ku menungu" dari tante Rosa, sebagai contoh, sangat layak diputar karena mengandung makna "filosofis" agar para pengendara santaiti, dak tegang dan rela bersabar menunggu lampu merah menjadi hijau meski hitungan mundurnya dimulai dari angka 300 detik.

Lagu-lagu yang berpotensi menyulut emosi seperti "Kill Them All" dari Metallica, "We are the Champion" dari Queen yang biasa dipakai dalam kompetisi olahraga balap motor, atau lagu campursari "Minggat; Ndang Balio Sri" yang bercerita tentang seorang istri yang pergi tanpa pamit sebaiknya tidak diputar di layar hiburan itu, karena dikhawatirkan dapat meningkatkan emosi negative para pengendara. Bisa dibayangkan bila mereka "emosi" sehingga membuat mereka berlagak seperti pembalap "Road Race" atau F1.

Ya, seperti yang telah diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah, layar elektronik besar seperti di Bundaran HI Jakarta Pusat, perempatan Gardu Listrik di Malioboro Yogyakarta, Simpang Lima Semarang atau di beberapa tempat strategis di kota-kota besar lainnya tentu dapat mengendorkan ketegangan para pengendara di tengah "kesemrawutan" lalu lintas. Tapi, sekarang, layar-layar besar itu mayoritas tidak berfungsi.

Sayangnya, selain sering mati, iklan-iklan yang ditayangkan di layar raksasa itu biasanya semakin membikin para pengendara pusing. Jujur saja, mayoritas pengguna jalan raya biasanya "integral" dengan kondisi sosio-ekonomi mayoritas masyarakat kita yang kebanyakan berasal dari kelas menengah ke bawah.

Maka, bisa jadi iklan mobil mewah yang harganya di atas 500jt dapat membuat jengkel para pengendara motor atau pengendara mobil butut yang kepanasan karena ACnya mati atau semakin menumbuhkan rasa frustasi para pengendara motor "se-umur hidup" karena kebanyakan dari mereka "optimis" tidak bakalan mampu membeli mobil mewah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun