Mohon tunggu...
Kelompok 55
Kelompok 55 Mohon Tunggu... Lainnya - Tim Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo Madura

Pengabdian Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Sesat Pikir yang Terjadi pada Masyarakat Selama Pandemi

20 Januari 2021   17:18 Diperbarui: 20 Januari 2021   17:26 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


                   Sebelum ke pembahasan mengenai fenomena sesat pikir yang terjadi di masyarakat, kita harus mengetahui dulu tentang apa itu sesat pikir. Sesat pikir (Logical Fallacy) sendiri adalah proses penalaran atau argumentasi yang bisa dikatakan tidak logis, salah arah, dan menyesatkan dikarenakan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Sesat pikir mengacu pada 'term' kepalsuan, yakni term yang digunakan salah dalam menalar, gagasan yang salah serta pada keyakinan yang salah. Sesat pikir sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari di lingkungan sekitar. Bahasa sederhananya begini, sesat pikir adalah argumen-argumen yang mengandung satu atau lebih kesalahan logis yang terjadi karena adanya kesalahan dalam penalaran (baik menyangkut cara, proses maupun hasil penalaran tersebut). Sesat pikir dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan dilakukan oleh siapa saja. Tiga karakteristik sesat pikir mencakup ; ada kesalahan logika berpikir, ada dalam argument, ada kesan menipu.

                   Lalu, disini saya akan mengaitkan tentang sesat pikir dan masalah yang kita hadapi saat ini yakni adanya masa pandemi virus corona. Sesat pikir pada masa pandemi terjadi ketika seseorang memikirkan, membuat logika, dan memproses berbagai informasi dengan tidak sistematis atau berurutan. Akibatnya, tidak memproduksi kesimpulan yang jelas. Kondisi tersebut bisa terjadi secara tidak sengaja maupun disengaja demi menyelesaikan diskusi dan argumen yang kurang kuat. Keadaan seperti itu sebenarnya tidak baik. Hal ini karena dapat menghambat penyampaian sains dan medis tentang kewaspadaan di masa pandemi COVID-19.

                   Salah satu contoh sesat pikir yang terjadi selama pandemi berlangsung adalah kasus yang sempat heboh mengenai cuitan salah satu personil dari band 'Superman Is Dead' yaitu Jerinx. Ia berpendapat bahwa wabah Corona yang terjadi saat ini hanyalah rekayasa kaum Elite semata dengan mengatakan, "Permainan menaikkan angka korban guna memuluskan agenda elit global ini sudah terjadi sejak wabah diumumkan kacung Bill Gates bernama WHO".

Dalam pernyataan yang lain, Jerinx mengajak orang ramai-ramai tidak mempercayai WHO. Jerinx juga sempat melontarkan pertanyaan retoris seperti, "Logika? Pertahun, jutaan manusia meninggal akibat kelaparan di seluruh dunia. Itu fakta. Kenapa ia tidak menjadi "pandemi"? Karena kelaparan tidak membunuh orang kaya!". Dengan mengatakan hal demikian, Jerinx seolah ingin membandingkan dua fenomena yang jelas berbeda yaitu wabah covid-19 dengan kemiskinan. Perbandingan itu jelas keliru.

Kelaparan merupakan masalah sosial dan seringkali berhubungan dengan ketimpangan ekonomi. Berbagai macam kasus kelaparan di dunia ini juga disebabkan oleh konflik bersenjata atau embargo ekonomi. Namun, kelaparan bukan penyakit yang menular, meskipun jutaan orang bisa tewas karenanya. Kelaparan memang masalah besar, namun bukannya tanpa solusi. Pemecahannya berpangkal pada rumus sederhana: merumuskan kebijakan yang membuat orang bisa makan dan memastikan kebijakan tersebut dilaksanakan dengan benar.

                   Pertanyaan lain Jerinx berisi "Lalu kenapa CEO Google & lusinan CEO korporat raksasa kompak mengundurkan diri jauh-jauh hari sebelum wabah diumumkan?". Pernyataan Jerinx tersebut seolah menyiratkan para bos perusahaan ini mengetahui soal Corona jauh sebelum pandemi. Jika yang dimaksud Jerinx sebagai CEO Google adalah Sundar Pichai, faktanya Pichai belum mengundurkan diri. Yang mengundurkan diri dari Google adalah Larry Page dan Sergey Brin. Itu pun pada awal Desember 2019, tidak terlalu "jauh" dari penyebaran Corona seperti asumsi Jerinx. Asumsi-asumsi yang dilontarkan Jerinx ini bisa dikategorikan sebagai teori konspirasi belaka. Konspirasi sendiri adalah sebuah rencana terselubung dan dijalankan oleh segelintir orang. Kamus Cambridge mengartikan konspirasi sebagai "aktivitas bersama orang lain untuk secara rahasia merencanakan sesuatu sesuatu yang buruk atau ilegal". Konspirasi bisa dilakukan siapa saja. Bukan hanya elite negara, siapapun bisa berkonspirasi, misalnya untuk menggulingkan kekuasaan, mengubah kehidupan masyarakat, atau mengarahkan pemerintahan sesuai cita-cita yang dituju kelompok yang bersangkutan. Upaya untuk menerangkan konspirasi itu disebut teori konspirasi. Konspirasi jelas termasuk bagian dari sesat pikir karena cenderung tidak logis dan tidak adanya bukti. Teori konspirasi biasanya berkembang dalam situasi sosial dan politik yang serba tidak pasti, dari perang, krisis politik, krisis ekonomi, bencana alam, atau pandemi. Tak heran jika teori konspirasi muncul di masa penyebaran COVID-19.

                   Bicara soal bahaya dari sesat pikir, begini tanggapan dr. Arina Heidyana. "Sebenarnya, hal-hal seperti itu bisa terjadi di mana-mana, tak cuma di kondisi pandemi sekarang. Ini karena pada dasarnya pemikiran dan pemahaman setiap orang berbeda-beda". Dokter Arina menambahkan, "Ada yang langsung menelan mentah-mentah argumen atau opini. Tapi, ada juga yang mencari tahu dulu kebenaran dari opini tersebut". Biasanya, orang yang menelan mentah-mentah sebuah argumen itu malas mencari tahu fakta. Ujung-ujungnya, malah salah informasi."Salah informasi itulah yang pada akhirnya membuat pandemi COVID-19, khususnya di Indonesia, susah untuk dikendalikan. Tak cuma ke urusan kesehatan, pastinya hal ini akan sangat berdampak ke ekonomi juga," ucapnya. Dari sini bisa terlihat, peranan pola pikir masyarakat juga bisa sangat berpengaruh bagi tatanan sebuah negara.

                   Contoh pernyataan-pernyataan hoax yang dilontarkan Jerinx di atas tentu akan berdampak pada pemikiran beberapa masyarakat. Beberapa diantara mereka pasti menganggap apa yang dikatakan oleh Jerinx tersebut bisa jadi memang benar adanya. Mereka akan menelan informasi mentah-mentah tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu. Yang paling dikhawatirkan adalah masyarakat akan abai mengenai peraturan protokol kesehatan karena menganggap pandemi virus Corona ini hanyalah skenario belaka. Terlepas dari itu, sebenarnya kasus 'sesat pikir' serupa  telah berkembang di berbagai tempat di dunia, tidak hanya di Indonesia. World Health Organization atau WHO menyatakan hal seperti ini telah menjadi masalah serius setidaknya pada Februari 2020. Penyebarannya bahkan lebih cepat daripada virus Corona dan membingungkan khalayak luas.

                   Pernyataan yang dilontarkan Jerinx, dalam teori sesat pikir, masuk ke dalam kategori argument. Kegagalan argument yang memuat premis yang terbentuk dari proporsi yang keliru. Jika premis keliru maka jatuhnya kesimpulan juga tidak benar. Pernyataan tersebut merupakan argument yang salah. Sebenarnya keliru namun tidak merasa karena telah tertipu.

Dalam teori sesat pikir ada yang namanya kekeliruan relevansi. Berita yang beredar akibat adanya argumen tidak mendasar tersebut dapat disebut sebagai Argumentum ad Ignorantiam yakni argument yang bertolak dari sesuatu dan tidak mudah dibuktikan kebenarannya. Adapula yang disebut sebagai Argument Ad Populum yaitu kekeliruan yang diterima secara umum atau salah kaprah. Sesat pikir ada beberapa macam yaitu; Accident, Converse Accident, False Cause, Petitio Principii, Ignoratio Elenchi, dan Ambiguitas Argumen. Menurut saya pribadi, kasus Jerinx termasuk ke kategori Petitio Principii dan Ambiguitas Argumen yaitu orang yang menetapkan kebenaran propisisi, sering orang masih mempertanyakan premis yang sudah diterima umum dan juga argument yang terdiri dari pernyataan yang memiliki makna ambigu atau mungkin ganda.

                   Pelajaran yang dapat kita ambil adalah, dalam kondisi pandemi COVID-19 yang sedang meningkat ini, sangat penting bagi kita semua untuk lebih berhati-hati membagikan ataupun menerima informasi. Jika kita memiliki pendapat atau argumen subjektif yang sekiranya akan menimbulkan kebingungan atau dapat menggiring opini orang-orang ke hal yang tidak seharusnya, alangkah lebih baik kalau kita menyimpannya sendiri saja, Kita semua punya tanggung jawab untuk membantu mengurangi penyebaran informasi yang salah dengan memastikan bahwa kita hanya memberikan informasi yang benar atau telah terverifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun