Oleh: Aini Nur Fadilah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Indonesia, saya bangga akan keragaman budaya yang dimiliki negeri ini. Salah satunya kesenian Reog Ponorogo. Sebagai seni pertunjukan, Reog Ponorogo tidak hanya sekadar hiburan semata, Reog Ponorogo juga menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Ponorogo yang harus terus dilestarikan. Di tengah derasnya arus modernisasi, eksistensi Reog Ponorogo di tengah masyarakat mengalami penurunan terutama di kalangan generasi muda. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, perubahan pola hiburan, minimnya inovasi, faktor ekonomi dan kurangnya edukasi budaya. Â
Kesenian Reog Ponorogo adalah seni rakyat yang tumbuh dan berkembang di wilayah Ponorogo dan berkembang di Jawa dan luar Jawa, yang mana syarat akan nilai-nilai yang terkandung di dalam pertunjukannya (Kristianto, 2019). Secara historis, sejarah Reog Ponorogo belum ditemukan kepastiannya. Terdapat beberapa versi yang memberikan pandangan terkait sejarah Reog Ponorogo. Hingga saat ini sejarah Reog Ponorogo lebih cenderung pada legenda yang berkaitan dengan kisah Raja Kelana Suwandana dari Kerajaan Bantarangin yang ingin melamar Dewi Ragil Kuning dari Kerajaan Kediri. Dalam perjalanan, beliau dihadang oleh Raja Singabarong dari Kediri, yang membawa pasukan singa dan merak. Pertarungan antara kedua kerajaan ini menjadi dasar cerita Reog Ponorogo yang menggambarkan konflik dan perdamaian antara mereka. Adapun unsur-unsur pementasan tokoh yang ditampilkan dalam kesenian Reog yakni Warok, Jathilan, Bujang Ganong. Klana Sewandono, dan Pembarong (Titimangsa & Christanto, n.d.). Kesenian ini tersaji ke dalam 4 babak pertunjukan. Pertunjukan dimulai dengan tarian Jathilan atau Jaranan, dan ditutup dengan Klono Sewandono yang menari tunggal, diikuti oleh Bujang Ganong yang mempersembahkan Singo Barong. Â
Sejarah panjang Reog Ponorogo menunjukkan bahwa seni pertunjukan ini telah melewati berbagai perkembangan zaman. Awalnya, Reog Ponorogo dikenal sebagai bagian dari ritual mistis dan kepercayaan masyarakat. Pertunjukan Reog sering kali dijadikan sarana ritual, seperti upacara tolak bala, bersih desa dengan tujuan mengusir wabah penyakit yang meresahkan warga. Seiring berjalannya waktu, fungsi Reog mengalami perubahan. Reog tidak hanya menjadi bagian dari ritual adat, tetapi juga menjadi hiburan rakyat dan kesenian yang dipertunjukkan di berbagai acara. Reog seringkali ditampilkan dalam acara pernikahan, Grebeg Suro, khitanan, dan perayaan nasional. Dalam setiap pementasan, Reog selalu menjadi daya tarik utama yang menunjukkan kekompakan, keterampilan, dan warisan budaya yang kuat.
Namun, modernisasi membawa perubahan pada pola hidup masyarakat, termasuk cara masyarakat dalam menikmati hiburan. Peneliti tradisi dari Universitas Jember Prof. Dr Ayu Sutarto (2015), mengemukakan bahwa senyatanya tantangan yang harus dihadapi oleh para pewaris aktif (pelaku) seni pertunjukan tradisional agar bertahan hidup di tengah-tengah pergumulan antara selera lokal dan selera global sangatlah berat. Masuknya budaya asing semakin menggeser popularitas seni lokal, termasuk Reog Ponorogo. Fenomena ini menunjukkan bahwa globalisasi tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga tantangan besar bagi kelangsungan budaya tradisional. Â Jika dulu pertunjukan Reog sangat dinantikan, kini munculnya teknologi dan konten digital seperti media sosial, film, dan musik modern, masyarakat terutama generasi muda cenderung menikmati hiburan modern daripada seni tradisional. Keterbatasan inovasi pada kesenian Reog Ponorogo menjadi masalah tersendiri. Seniman Reog senior, Bapak Supriyadi, mengungkapkan bahwa pertunjukan Reog yang monoton dan tidak beradaptasi dengan perkembangan zaman membuat generasi muda merasa bosan. Dalam pertunjukannya, Reog Ponorogo mengikuti struktur yang hampir sama. Selain itu, gerakan tarian Reog juga dilakukan berulang dengan durasi yang cukup panjang. Bagi sebagian generasi muda yang menyukai hiburan yang dinamis dan interaktif, Â hal ini dianggap kurang variatif. Meskipun mempertahankan tradisi adalah hal penting, adaptasi juga diperlukan agar seni ini tetap relevan.Â
Selain faktor perubahan minat, aspek ekonomi dan ketersediaan bahan baku menjadi salah satu penyebab lunturnya eksistensi Reog Ponorogo. Pertunjukan Reog Ponorogo membutuhkan biaya yang tinggi. Mulai dari pembuatan kostum seperti dadak merak, peralatan musik seperti gong, kenong, kendhang yang membutuhkan biaya perawatan. Selain itu, ketersediaan bahan baku juga menjadi masalah terhadap keberlangsungan Reog Ponorogo. Menurut Hamy (2022) mengungkapkan dalam audiensi bersama Pimpinan Komisi E dan Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Timur bahwa para komunitas kesulitan mencari bahan baku berupa bulu burung merak. Sayangnya kurangnya sponsor dan dukungan mengakibatkan banyak kelompok seni yang kesulitan untuk bertahan. Hamy juga mengungkapkan bahwa banyak pegiat Reog Ponorogo kehilangan mata pencarian dan pekerjaan, sehingga terpaksa beralih ke profesi lain. Hal tersebut menyebabkan kurangnya regenerasi. Padahal regenerasi seniman perlu dilakukan agar Reog tetap lestari. Menurut penelitian Supariadi, Warto (2015), Proses regenerasi seniman ini dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Proses secara formal dilakukan melalui kegiatan yang terorganisir dan resmi, seperti penyelenggaraan festival, baik Festival Reog Mini maupun Festival Reog Nasional. Sementara itu, regenerasi non formal terjadi tanpa melalui acara resmi dan tidak terstruktur, misalnya melalui jalur otodidak dengan bergabung dalam kelompok seni Reog.Â
Pada tahun 2022 tercatat 367 komunitas Reog Ponorogo di Kabupaten Ponorogo. Meski terdapat banyak komunitas, kenyataannya saat ini Reog jarang ditampilkan kecuali di acara Grebeg Suro. Karena, semakin sedikitnya penikmat Reog Ponorogo terutama dari kalangan generasi muda. Banyak generasi muda yang tidak memahami nilai-nilai dan makna dibalik kesenian Reog Ponorogo. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya edukasi budaya dalam kurikulum sekolah. Di banyak sekolah, pembelajaran lebih berfokus pada teori daripada praktik, sehingga para peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk mengenal dan mencintai budaya secara langsung.
Meski menghadapi tantangan yang besar, upaya pelestarian Reog Ponorogo terus dilakukan oleh berbagai pihak. Menurut Soejarno (2018) mantan Wakil Bupati Ponorogo, Reog Ponorogo tidak akan punah karena di setiap desa di Kabupaten Ponorogo ada paguyuban Reog yang aktif. Hal ini didukung oleh upaya pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk mendaftarkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak benda (WBTb) UNESCO, yang akhirnya resmi ditetapkan pada tahun 2024. Pemerintah daerah dan juga komunitas budaya berusaha menghidupkan kembali minat masyarakat melalui beberapa cara yang selaras dengan perkembangan zaman. Pertama, pendidikan seni tradisional harus ditingkatkan dengan memasukkan Reog Ponorogo ke dalam kurikulum sekolah  dan sanggar-sanggar seni. Selain itu, workshop dan pelatihan seni Reog di sekolah maupun komunitas lokal juga bisa menjadi solusi untuk melahirkan generasi penerus. Kedua, menyediakan sarana dan prasarana, pendanaan dan kolaborasi dengan pihak swasta. Ketiga, yaitu membuat vidio kreatif seperti film dokumeter, video pendek, animasi yang menarik di media sosial seperti Youtobe, Tiktok,  Instagram, dan menggelar festival-festival seperti FRN, Festival Bulan Purnama, Festival Reog Mini. Dengan adanya wadah kompetitif mampu membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat terutama generasi muda untuk ikut membantu menjaga dan mengembangkan kesenian tradisional.
Modernisasi membawa dampak pada eksistensi Reog Ponorogo di tengah masyarakat terutama generasi muda. Akibat adanya modernisasi generasi muda menjadi abai akan keberadaan kesenian Reog Ponorogo. Lunturnya budaya ini dilatar belakangi oleh berbagai faktor mulai dari perubahan pola hiburan, kurangnya inovasi, faktor ekonomi, dan kurangnya regenerasi. Namun, bukan berarti budaya bisa ditinggalkan. Dengan adanya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat indonesia, inovasi, dan pelestarian yang tepat, Reog Ponorogo mampu bertahan di era modern. Saya percaya bahwa kita sebagai generasi muda mampu mempertahankan kesenian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya.
Â