Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tirani Meritokrasi

2 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 2 Maret 2021   12:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua "soft-skills" krusial di era disrupsi digital ini (Haryatmoko, 2020) merupakan bagian dari kapabilitas yang seharusnya diperoleh individu dari lembaga pendidikan (Yudi Latif, 2020).

Kapabilitas adalah kebebasan substansial atau seperangkat kesempatan yang dapat seseorang pilih dan bertindak (Amartya K. Sen, 1993). Kapabilitas adalah jawaban terhadap apa yang dapat individu lakukan dan menjadi. 

Kapabilitas bukan sekadar kemampuan-kemampuan yang tinggal dalam diri setiap orang, melainkan kebebasan atau kesempatan yang diciptakan oleh kombinasi kemampuan-kemampuan personal dan gerakan sosial, politik, dan ekonomi (Martha C. Nussbaum, 2011).

Sejak awal kemerdekaan Konstitusi melalui pasal 31 UUD NRI 1945 memaklumatkan seluruh warga Indonesia memiliki kesetaraan akses terhadap pendidikan sebagai hak dasar. 

Dengan demikian, kapabilitas ini seharusnya dimiliki setiap warga NTT dan Indonesia bila prinsip kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) akses terhadap pendidikan sebagaimana diamanatkan Konstitusi terlaksana. Warga Batu Putih membuktikan bahwa selama 75 tahun lebih merdeka, amanah Konstitusi tinggal sebagai slogan di atas kertas.

Melampaui kesetaraan kesempatan

Kesetaraan kesempatan sebenarnya merupakan prinsip dasar meritokrasi. Di dalam buku terbarunya, "The Tyranny of Merit" (2020), Michael Sandel mengatakan meritokrasi bernas karena dua alasan: efisiensi dan fairness. 

Lebih efisien bila untuk memperbaiki motor saya yang rusak, saya memakai mekanik yang profesional. Adalah juga "fair" bila orang yang memiliki kompetensi mekanik motor yang dipakai daripada seorang pegawai Gojek.

Meritokrasi mengandung gagasan dasar kebebasan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama. Maka kesuksesan berada pada tangan setiap orang. Kerja keras menentukan keberhasilan. Karena itu, "we get what we deserve". Setiap orang layak mendapatkan apapun selaras dengan kerja kerasnya.

Kesalahan meritokrasi terletak pada asumsi dasar bahwa semua orang memiliki kesetaraan kesempatan. Sehingga pemenang bergantung pada usaha individu. Di dalam teori evolusi Darwin disebut "survival for the fittest": pemenang adalah yang kuat. Padahal, de facto tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang setara.

Seorang anak yang lahir dari keluarga miskin dan tinggal di tempat terpencil di NTT yang buruk infrastrukturnya mustahil, kalau bukan keberuntungan, memiliki akses untuk belajar di sekolah berkualitas dan kampus ternama seperti UGM dan UI sebagaimana lazimnya mudah digapai kebanyakan anak keluarga berada yang tinggal di area perkotaan. Bahkan untuk bermimpi menjadi orang bergelar sarjana pun tidak, lantaran imajinasi dikonstruksi secara sosial berdasarkan lingkungan pergaulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun