Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reuni Alumni Sakit Hati

9 Juli 2020   07:48 Diperbarui: 9 Juli 2020   08:11 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kurang lebih dua Minggu terakhir suasana relung hati bangsa kita sedang risau. Biang keladinya adalah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). RUU HIP menuai banyak kritik entah dari partai luar pemerintah, ormas Islam, hingga purnawirawan. Sebagaimana direkam media CNN online (06/07/2020), ada tiga sasaran kritik. 

Pertama, Pasal 6 RUU HIP yang menegaskan ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terdiri atas asas ketuhanan, nasionalisme, dan gotong royong. Trisila ini dapat dikristalisasi ke dalam Ekasila, yakni gotong royong. Ormas dan tokoh Islam berkeberatan karena menganggap Pancasila malah dikerdilkan dengan pasal ini.

Kedua, Pasal 47 RUU HIP berisi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bisa diisi oleh TNI-Polri aktif. Pasal ini tolak oleh LSM karena keterlibatan TNI-Polri aktif dalam lembaga eksekutif berpotensi mengembalikan sejarah kelam era Orde Baru. 

Ketiga, TAP MPRS No. XXV tahun 1966 mengenai pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan menyebarkan paham komunisme tak dijadikan peraturan konsideran. Sejumlah pihak mencemaskan kemungkinan RUU HIP dijadikan landasan penyebaran paham komunisme.

Buntut dari penolakan konseptual di atas adalah aksi unjuk rasa ormas-ormas di depan Gedung DPR/MPR RI (Kompas.com, 24/05/20). Menariknya, masa melakukan aksi teatrikal dengan membakar bendera PDI-P dan PKI. Pembakaran simbolik disertai seruan orator "Kita bakar bendera PKI-nya. Nanti kita bakar orang-orang PKI-nya, tokoh-tokohnya, di manapun mereka berada, DPR, MPR, eksekutif" (Tirto.id, 26/06/2020).

Meskipun tertangkap sorotan media, pihak PA 212, salah satu ormas inisiator aksi ini, berkilah tindakan itu tidak dilakukan oleh kader PA 212. Bahkan Haikal Hassan, salah satu perancang tindakan demonstrasi tersebut, di dalam Webinar "Infodemik PDI-P Identik PKI, Ulah Siapa? Imbas Polemik RUU HIP" menegaskan, mereka tersusupi (28/06/2020). Para pelaku bukan bagian dari peserta demonstran sebagaimana terdapat di dalam rancangan awal.

Menalar Penolakan RUU HIP

Mengkritik itu demokratis, indikator partisipasi aktif warga negara. Namun, tidak asal menyembur kata dan bermain otot. Setiap wacana kritis di ruang publik harus dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan akal. Artikel ini bermaksud untuk membawa keberatan di atas ke meja nalar. Ada dua soal penting di sini. Pertama, apakah sahih landasan argumentasi ketiga keberatan di atas? Kedua, mengapa bendera PDI-P yang dibakar (bersama dengan bendera komunis)?

Masalah pertama terdiri dari tiga elemen. Pertama, gagasan Trisila dan Ekasila ditolak karena mengkerdilkan Pancasila adalah fallacy ahistoris. Pada saat meramu dan mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, Soekarno telah menegaskan konsep Pancasila yang dapat dipadatkan menjadi Trisila atau Ekasila. Pemadatan ini bukan penghapusan atau pengubahan. Substansinya tetap sama. Jadi, Trisila dan Ekasila tetap berketuhanan dan posisi ketuhanan tidak tergantikan (Kaelan, 2018, Faisal Ismail, 1995).

Keberatan kedua bisa memiliki tumpuan sejarah. Namun, harus diingat bahwa TNI-POLRI adalah kaki tangan negara yang harus memiliki ketaatan mutlak terhadap ideologi bangsa. Melibatkan anggota TNI-POLRI ke dalam BPIP adalah bagian dari menciptakan kanal sosialisasi dan internalisasi ideologi Pancasila bagi seluruh anggota TNI-POLRI. Kemungkinan pembangkangan dipangkas dan kepatuhan terhadap ideologi Pancasila dapat dipupuk melalui internalisasi.

Ketakutan pada keberatan ketiga juga mengada-ada. Logikanya sederhana: tidak dimasukkan ke dalam RUU HIP tidak lantas meniadakan daya ikat TAP MPRS No. XXV tahun 1966. Apalagi tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa ketetapan MPRS ini tidak berlaku lagi dan diganti dengan RUU HIP. Komunisme telah hangus di republik ini sejak tahun 1965 dan dilarang secara legal oleh ketetapan MPRS di atas. Dengan demikian, tidak ada satu eksponen komunis pun yang masih berkeliaran bebas di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun